Selasa, 17 Juli 2012

MENEMANI ANAK TANPA KDRT : Sekilas ttg UU Penghapusan KDRT

Gambar : Buku-buku tentang Ilmu Hukum yang dapat dibeli di berbagai toko buku. Membaca buku-buku seperti ini juga bermanfaat untuk menambah pengetahuan anak (dan juga orang tuanya). Kurikulum SD saat ini sudah memasukkan "pengertian hukum perdata" dan sebagainya untuk dipelajari oleh para murid, meskipun masih sebatas definisi atau pengertian umum saja.

-----------------------------------------

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth., 
Sejak dimuatnya tulisan tentang UU Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002 di blog ini beberapa hari lalu, ada beberapa orang tua yang bertanya kepada saya tentang "UU KDRT". Tentu saja, yang dimaksud adalah Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Jadi, namanya UU Penghapusan KDRT, bukan UU KDRT (tanpa kata penghapusan).

Saya sempat menimbang-nimbang, apakah akan menuliskannya dalam blog ini atau tidak. 

Kalau saya tuliskan, sepertinya UU Penghapusan KDRT ini agak kurang berhubungan langsung dengan pendidikan anak secara kreatif (yang menjadi tema sentral blog ini). 

Namun, ada juga yang bilang ke saya, "Bagaimana mungkin bisa menemani anak menjadi kreatif kalau ada bayang-bayang KDRT ? Maka, UU Penghapusan KDRT tetap relevan".

Di lain pihak, saya juga merenung : blog ini adalah satu-satunya blog aktif yang saya kelola. Artinya, ini adalah blog yang saya perbarui isinya setiap hari, sehingga punya banyak pembaca setia. Maka saya pikir, ada baiknya juga saya menuliskan tentang UU Penghapusan KDRT di blog ini, supaya ada lebih banyak lagi orang yang paham tentang KDRT dan penghapusannya.

Semoga ini dapat menambah wawasan kita bersama (juga lebih banyak lagi teman-teman dan saudara kita).

--------------------

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan TERHADAP SESEORANG terutama perempuan (catatan penulis : jadi tidak harus perempuan, sebab ada seorang rekan Advokat yang menangani kasus KDRT dan korbannya adalah pihak suami) yang berakibat TIMBULNYA KESENGSARAAN ATAU PENDERITAAN secara FISIK, SEKSUAL, PSIKOLOGIS, dan atau PENELANTARAN RUMAH TANGGA (catatan penulis : jadi, tidak hanya kekerasan secara fisik saja, sebagaimana yang dipahami kebanyakan orang pada umumnya) temasuk ANCAMAN (catatan penulis : jadi, baru mengancam saja sudah termasuk KDRT) untuk melakukan perbuatan, PEMAKSAAN, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum DALAM LINGKUP RUMAH TANGGA.

Itu tadi adalah definisi tentang KDRT menurut butir (1) pasal 1 UU nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. 

UU ini memang relatif masih baru, karena baru belaku sejak tanggal 22 September 2004. Dengan demikian pada saat ditulis di blog ini, umurnya belum genap 8 tahun. 

Jadi, wajar kalau masih banyak yang mengira bahwa masalah KDRT adalah masalah kekerasan fisik saja. Padahal tidak. 

UU ini juga meliputi masalah kekerasan seksual, psikologis, dan penelantaran rumah tangga, serta ancaman (meski baru ancaman, jadi belum diwujudkan oleh si pelaku) untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan (tentu saja secara melawan hukum) yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga.

--------------------

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Adapun yang dimaksud dengan PENGHAPUSAN KDRT dalam UU ini adalah JAMINAN yang diberikan oleh negara untuk 3 hal, yaitu :
1. Untuk MENCEGAH terjadinya KDRT
2. Untuk MENINDAK pelaku KDRT
3. Untuk MELINDUNGI korban KDRT

Hal ini sebagaimana tertulis dalam butir (2) pasal 1 UU Penghapusan KDRT.

Tentang PERLINDUNGAN, hal ini tercantum dalam butir (4) pasal 1 sbb : adalah SEGALA UPAYA yang ditujukan untuk MEMBERIKAN RASA AMAN kepada korban, yang dilakukan oleh PIHAK KELUARGA, ADVOKAT, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya, baik SEMENTARA maupun berdasarkan PENETAPAN PENGADILAN.

Kata-kata "pihak keluarga" dan "advokat" pada kalimat di atas sengaja ditulis dengan huruf besar, untuk menegaskan bahwa perlindungan ini bukan hanya diberikan oleh kepolisian, tetapi menurut UU juga diberikan oleh pihak keluarga maupun advokat.

Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan PERLINDUNGAN SEMENTARA ? 

Perlindungan sementara adalah perlindungan yang LANGSUNG DIBERIKAN  oleh kepolisian dan / atau lembaga sosial atau PIHAK LAIN, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. 

Hal ini tertulis pada butir (5) pasal 1 UU Penghapusan KDRT. Dengan demikian, mengacu pada butir (4) pasal 1 UU ini, perlindungan sementara juga dapat dilakukan oleh PIHAK KELUARGA ataupun ADVOKAT.

Pasal 16 UU ini mengatur lebih lanjut tentang PERLINDUNGAN SEMENTARA. 

Ayat (1) mengatakan bahwa dalam 1 X 24 jam terhitung sejak MENGETAHUI atau MENERIMA laporan KDRT, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban. 

Ayat (2) mengatakan bahwa perlindungan sementara itu diberikan paling lama 7 hari sejak korban diterima atau ditangani. 

Ayat (3) mengatakan bahwa dalam waktu 1 X 24 jam sejak pemberian perlindungan sementara ini, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. 

Selanjutnya pasal 12 UU ini mengatakan bahwa dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan / atau pembimbing rohani untuk MENDAMPINGI KORBAN.

Terkait dengan laporan ke pihak kepolisian, korban berhak melaporkan secara langsung atau memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan KDRT kepada pihak kepolisan DI TEMPAT KORBAN BERADA maupun DI TEMPAT KEJADIAN PERKARA (pasal 26 UU Penghapusan KDRT).  Jadi, korban tidak harus melapor ke tempat terjadinya perkara, karena UU ini mengijinkan korban untuk melapor di tempat korban berada saat itu (misalnya : karena takut dengan pelaku KRDT, korban terpaksa melarikan diri ke luar kota. Di kota tempat persembunyian korban itu, korban dapat melapor kepada kepolisian setempat, karena diijinkan oleh UU Penghapusan KDRT).

Apabila korban adalah seorang ANAK, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau oleh ANAK ITU SENDIRI (pasal 27 UU Penghapusan KDRT).

Dari uraian di atas, terlihat bahwa meskipun menurut pasal 1 butir (4) pihak keluarga atau advokat atau lembaga sosial dapat memberikan perlindungan, namun hal ini harus segera dilaporkan kepada kepolisian sesuai ketentuan pasa 16 UU Penghapusan KDRT.

Adapun kewajiban ADVOKAT dalam memberikan PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN kepada korban KDRT diatur dalam pasal 25 UU Penghapusan KDRT, yaitu :
a. Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan PROSES PERADILAN
b. Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengailan, dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan KDRT yang dialaminya, atau
c. Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum (catatan penulis : di Indonesia terdapat "4 WANGSA PENEGAK HUKUM" yaitu Advokat, Polisi, Jaksa, dan Hakim), relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.

Mengenai PENETAPAN PENGADILAN,  Ketua Pengadilan dalam waktu 7 hari sejak menerima permohonan wajib mengeluarkan SURAT PENETAPAN  yang berisi perintah perlindungan bagi KORBAN dan ANGGOTA KELUARGA LAIN, kecuali dengan alasan yang patut. 

Permohonan ini dapat diajukan oleh korban atau keluarga korban, TEMAN KORBAN, kepolisian, relawan pendamping, atau PEMBIMBING ROHANI (pasal 28, 29, 30 UU Penghapusan KDRT).  

Perintah perlindungan ini dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 tahun, dan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan (pasal 32 UU Penghapusan KDRT).


Bagaimana dengan PELAKU KDRT ? Apakah akan didiamkan saja ? 

Kepolisian dapat MENANGKAP untuk selanjutnya melakukan PENAHANAN TANPA SURAT PERINTAH  terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas. 

Penangkapan dan penahanan ini wajib diberikan surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 X 24 jam. Dan atas hal ini tidak berlaku penangguhan penahanan (pasal 35 UU Penghapusan KDRT).


--------------------

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Dalam UU Penghapusan KDRT, yang dimaksud dengan RUMAH TANGGA bukan semata-mata suami, istri, dan anak saja

Menurut UU ini, juga termasuk dalam LINGKUP RUMAH TANGGA adalah orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, istri, anak karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian YANG MENETAP DALAM RUMAH TANGGA tersebut dan / atau ORANG YANG BEKERJA membantu rumah tangga dan MENETAP dalam rumah tangga tersebut (ayat (1) pasal 2 UU Penghapusan KDRT).

Jadi menurut UU ini, kekerasan terhadap pembantu rumah tangga yang "tidur dalam / menginap" di rumah "majikannya" juga termasuk dalam KDRT.

Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan KEKERASAN FISIK ? Pasal 6 UU ini mengatakan bahwa kekerasan fisik adalah PERBUATAN yang mengakibatkan RASA SAKIT, JATUH SAKIT, atau LUKA BERAT. Tentu saja, untuk pembuktiannya, harus dilakukan visum oleh dokter.

KHUSUS UNTUK KDRT KEKERASAN FISIK yang dilakukan oleh SUAMI TERHADAP ISTRI ATAU SEBALIKNYA, YANG TIDAK MENIMBULKAN PENYAKIT ATAU HALANGAN UNTUK MENJALANKAN PEKERJAAN, JABATAN, ATAU MATA PENCAHARIAN ATAU KEGIATAN SEHARI-HARI, tindak pidana ini merupakan DELIK ADUAN (pasal 51 UU Penghapusan KDRT). Artinya, korban (atau pihak lain yang bertindak untuk dan atas nama korban) harus yang melaporkan ke pihak kepolisian, baru kepolisian akan bertindak. Ancaman pidana penjaranya adalah paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp 5 juta (pasal 44 ayat (4) UU Penghapusan KDRT). 

Tetapi apabila sampai korban JATUH SAKIT ATAU LUKA BERAT,  meskipun yang melakukan adalah suami terhadap istri atau sebaliknya, maka ini BUKAN DELIK ADUAN. Artinya, kepolisian bertindak tanpa menunggu adanya laporan dari korban atau yang mewakilinya. Ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp 30 juta apabila suami / istri selaku korban jatuh sakit atau luka berat. (pasal 44 ayat (2)). Ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp 45 juta apabila suami / istri meninggal dunia (pasal 44 ayat (3)).

--------------------
Adapun kalau KDRT SECARA FISIK tidak dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya, maka tindak pidana ini BUKAN DELIK ADUAN. Artinya, TANPA MENUNGGU LAPORAN DARI PIHAK KORBAN ATAU YANG MEWAKILINYA, kepolisian secara aktif bertindak. Ancaman hukuman penjaranya paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 15 juta. 

Tetapi apabila korban sampai JATUH SAKIT ATAU LUKA BERAT, pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp 30 juta. Kalau korban sampai MENINGGAL DUNIA, pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp 45 juta (pasal 44 ayat (1), (2), (3)).

--------------------

Adapun yang dimaksud dengan KEKERASAN PSIKIS (UU ini memang menggunakan 2 istilah : pasal 1 menggunakan istilah "psikologis", sedangkan pasal 5 dan pasal 7 menggunakan istilah "psikis", namun maksudnya adalah sama) adalah PERBUATAN yang mengakibatkan KETAKUTAN, HILANGNYA RASA PERCAYA DIRI, HILANGNYA KEMAMPUAN UNTUK BERTINDAK, RASA TIDAK BERDAYA, dan / atau PENDERITAAN PSIKIS BERAT pada seseorang. (Dalam kasus seperti ini, seorang rekan advokat pernah meminta bantuan seorang psikolog untuk menjadi saksi ahli di persidangan).

Apabila KDRT PSIKIS ini dilakukan oleh SUAMI TERHADAP ISTRI ATAU SEBALIKNYA YANG TIDAK MENIMBULKAN PENYAKIT ATAU HALANGAN UNTUK MENJALANKAN PEKERJAAN, JABATAN, ATAU MATA PENCAHARIAN ATAU KEGIATAN SEHARI-HARI, adalah merupakan DELIK ADUAN (pasal 52 UU Penghapusan KDRT). Artinya, kepolisian baru bertindak kalau ada laporan dari korban atau yang bertindak untuk dan atas nama korban. Ancaman pidana penjara paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp 3 juta (pasal 45 ayat (2)).

Tetapi apabila KDRT PSIKIS tidak dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya, maka ini BUKAN DELIK ADUAN. Artinya, kepolisian bertindak tanpa menunggu ada laporan dari pihak korban atau yang mewakilinya. Ancaman pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp 9 juta (pasal 45 ayat (1)).

-------------------

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Dalam kasus KDRT, KERAHASIAAN KORBAN dijamin oleh UU Penghapusan KDRT. Butir (c) pasal 10 secara tegas mengatakan bahwa korban BERHAK mendapatkan penanganan secara KHUSUS berkaitan dengan KERAHASIAAN korban
--------------------

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Demikianlah sekilas gambaran tentang UU Penghapusan KDRT yang berlaku sejak 22 September 2002. Semoga ini dapat menambah pengetahuan kita bersama, dan kita juga dapat membantu sekiranya ada teman atau saudara kita yang "ada gejala" mengalami KDRT.

Dengan memiliki pengetahuan tentang UU Penghapusan KDRT, kiranya kita semakin dapat mewujudkan keluarga yang harmonis, dan dapat menemani anak dengan baik.

Selamat menemani anak.
Selamat menemani anak tanpa KDRT.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----o0o-----

  • Foto dan tulisan oleh Constantinus. Ilmuwan Psikologi dan Konsultan Hukum. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Sarjana di bidang Ilmu Sosial.