Rabu, 18 Juli 2012

MENEMANI ANAK UNTUK MAJU DENGAN DIDUKUNG "JASA PSIKOLOG"

Meskipun tidak memiliki latar belakang Psikologi, Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak "sah-sah" saja membeli dan membaca buku-buku Psikologi (yang biasa dipakai di Fakultas Psikologi). 

Buku-buku dengan judul Pengantar Psikologi Umum (atau yang mirip dengan ini, karena ada banyak versi yang ditulis oleh para Profesor / Doktor Psikologi dari berbagai Universitas; jadi gambar di atas hanya merupakan salah satu contoh saja) sangat bermanfaat untuk menambah pengetahuan dalam menemani anak berdasarkan kemajuan psikologi yang ada saat ini.

--------------------------------------------------------------


Seorang ibu (usia 42 tahun) dari 2 orang anak (yang sulung sudah kelas 4 SD, yang bungsu baru mau masuk kelas 1 SD) pada suatu hari datang menemui saya. Beliau sedang punya masalah. Anaknya yang nomor 2 "masih kurang umurnya" untuk dapat masuk ke kelas 1 SD. Umur minimal untuk masuk ke kelas 1 SD itu (sebuah SD Negeri yang favorit di Kota Semarang) adalah 6 tahun. Tetapi umur anak ibu itu (saya hitung dengan kalkulator) baru 5,8 tahun. Jadi, masih kurang 0,2 tahun.

Kepada saya, ibu ini bilang, "Anak saya sulit bisa diterima. Tetapi ada salah satu guru di SD itu yang menyarankan saya untuk "minta" rekomendasi dari Psikolog". 

Lantas ibu ini menjelaskan maksud kedatangannya menemui saya. Maksudnya adalah untuk "mendapatkan" surat dari Psikolog. Surat ini menerangkan bahwa anaknya sudah layak untuk mengikuti pelajaran di kelas 1 SD (meskipun masih "di bawah umur").

Saya menyimak dengan penuh perhatian setiap kata ibu ini. Beliau sedang "galau" (begitu istilah anak muda zaman sekarang). Jadi saya harus berhati-hati dalam bersikap dan bertutur kata, supaya beliau tidak tersinggung. 

Dan setelah ibu ini selesai "menumpahkan" semua ke-galauan-nya, barulah saya mulai memberikan jawaban. Sekaligus penjelasan. Dengan sangat hati-hati (supaya tidak memupuskan harapannya dan supaya ke-galau-annya tidak meningkat).

--------------------

Yang pertama kali saya sampaikan kepada ibu ini tentu saja bahwa saya punya banyak teman Psikolog yang dapat dihubungi oleh ibu ini. Mereka ini punya Ijin Praktek. 

Saya menyebutkan nama-nama Psikolog yang saya kenal dengan baik beserta nomor handphone yang dapat dihubungi oleh beliau. Saya persilakan ibu ini untuk menghubungi Psikolog yang dirasa "cocok" di hati. 

Saya katakan juga, "Ibarat dokter, ilmunya sama. Tetapi si A cocoknya periksa ke Dokter Anu. Sedangkan si B cocoknya periksa ke Dokter Ani. Begitu pula dengan Psikolog. Setiap orang punya ke-cocok-an masing-masing".

Wajah ibu ini menjadi cerah. Beliau senang karena sudah punya daftar nama Psikolog beserta nomor handphone yang bisa dihubungi.

Tetapi, kemudian ibu ini bertanya, "Kenapa tidak dengan Pak Tinus saja ?"

--------------------

Dalam keseharian, saya banyak sekali berjumpa dengan Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak yang (kebetulan) "belum bisa membedakan" Psikolog dengan Psikiater. Apalagi Ilmuwan Psikologi. (Yang terakhir ini, yaitu Ilmuwan Psikologi, memang sangat kurang populer. Saya sendiri baru tahu tentang ini setelah saya kuliah di Fakultas Psikologi bertahun-tahun yang lalu, pada saat saya mengambil mata kuliah Kode Etik Psikologi).

Nah, dalam kesempatan seperti ketika "ngobrol" dengan ibu ini, saya "secara halus" menceritakan bahwa saya bukan seorang Psikolog. Saya adalah seorang Ilmuwan Psikologi. Tetapi sama seperti halnya Psikolog, saya sebagai seorang Ilmuwan Psikologi juga merupakan anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) dan terikat oleh Kode Etik yang sama. 

Jadi, saya memang tidak diperkenankan (oleh Kode Etik) untuk melayani masyarakat umum seperti yang dimaksud oleh ibu ini.

Saya jelaskan juga bahwa untuk keperluan ibu ini, beliau memang harus ke Psikolog. Psikolog adalah orang yang sudah menyelesaikan pendidikan Profesi Psikologi.

Ibu ini mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanda bahwa beliau sudah mengerti. Tanda bahwa beliau sudah paham bahwa saya memang tidak berwenang menangani permasalahannya (dan bukannya karena saya tidak mau membantu beliau).

Tetapi, ternyata ibu ini (agak di luar dugaan saya) bertanya lagi.

"Kenapa Pak Tinus tidak jadi Psikolog saja ?" katanya.

Wah.... Saya hanya bisa tersenyum.....

----------

Catatan sisipan : tentang Psikolog dan Psikiater, kepada Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak yang bertanya "bedanya" kepada saya, biasanya saya jawab dengan sederhana begini :

"Memang sama-sama 'mengurus-i' jiwa, karena sama-sama ada kata 'psi'-nya. Kalau Psikolog, mengurus-i orang sehat. Meskipun seiring dengan perkembangan zaman, ada Psikolog Klinis yang 'mengurus-i' orang sakit (jiwa). Para Psikolog menggunakan pendekatan "mempelajari" perilaku. Tekniknya menggunakan observasi / pengamatan yang sistematis, wawancara, konsultasi, konseling, sampai psikoterapi. Tetapi tidak memberikan obat / resep obat. Para Psikolog dulunya kuliah di Fakultas Psikologi (setelah lulus SMA) sampai jadi Sarjana Psikologi. Kemudian melanjutkan studi Magister Profesi Psikolog".

"Kalau Psikiater, dia adalah seorang Dokter yang meneruskan / mengambil spesialis di bidang Kesehatan Jiwa. Tugasnya adalah meng-obat-i (jadi, memang menggunakan obat) orang yang sakit atau mengalami gangguan jiwa, termasuk psikosis (sakit jiwa) dan penyalahgunaan narkoba. Kuliahnya di Fakultas Kedokteran, sampai lulus jadi Dokter Umum dulu. Kemudian mengambil Spesialisasi Kesehatan Jiwa".

--------------------

Kembali ke cerita tentang ibu tadi.

Hal lain yang juga harus saya jelaskan dengan hati-hati (supaya ibu ini tidak kecewa) adalah bahwa Psikolog akan melakukan asesmen psikologi (saya menjelaskan juga bahwa istilah "asesmen" yang berarti pengukuran / penilaian ini lebih "enak" didengar daripada istilah  "tes") dan setelah itu menerbitkan laporannya "sesuai hasil asesmen psikologi".

Saya "terpaksa" menjelaskan hal ini kepada beliau, karena di awal pembicaraan tadi ibu ini mengunakan kata-kata "meminta rekomendasi" dari Psikolog. 
Kepada ibu ini saya katakan bahwa Psikolog manapun nantinya akan "menuliskan" hasil asesmen "apa adanya" (sesuai hasil asesmen).

Ibu ini terdiam memandangi saya. Saya bisa menduga-duga pertanyaan yang muncul di dalam hatinya. Kira-kira begini, "Maksud Pak Tinus apa sih ?"

Maka, saya jelaskan lebih lanjut bahwa, "Kalau hasilnya menunjukkan bahwa anak Ibu memang sudah 'layak' masuk kelas 1 SD, pasti dituliskan seperti itu. Dan kalaupun hasilnya tidak begitu, Psikolog juga akan menuliskan apa adanya. Ini demi kebaikan anak Ibu juga. Jangan sampai dia 'dipaksakan' masuk kelas 1 SD".

--------------------

Hari demi hari berlalu.

Suatu ketika, ibu ini datang lagi menemui saya.

"Anak saya akhirnya diterima, Pak," katanya dengan gembira.

Beliau bercerita tentang pertemuannya dengan sang Psikolog. Ibu ini sangat terkesan dengan kelemahlembutan sekaligus kecerdasan sang Psikolog dalam melakukan asesmen terhadap anaknya. (Buat Ibu dan Bapak Psikolog yang kebetulan membaca blog ini : memang begitulah istilah yang digunakan oleh ibu ini).

"Santai dan menyenangkan buat anak saya. Anak saya jadi senang selama disuruh mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh Psikolog-ya," katanya. "Saya juga ikut belajar dari Psikolog-nya, bahwa saya tidak boleh begini atau begitu.....".

Saya menyimak baik-baik cerita beliau. Saya ikut senang.

Dari beliau, saya mengetahui bahwa IQ anak ibu ini adalah 126. Saya punya gambaran, bahwa meskipun umur anaknya masih 5,8 tahun, namun kecerdasannya adalah 126% dari 5,8 tahun = 7,3 tahun. Jadi, memang sudah layak masuk kelas 1 SD (yang syaratnya adalah punya "standar kecerdasan" anak 7 tahun, meskipun secara "pukul rata" dikatakan bahwa "umur minimal" adalah 6 tahun).

--------------------

Cerita masih berlanjut lagi.

Di hari yang lain lagi (sekitar pukul 13.00 WIB), ibu ini datang menemui saya lagi. Saya ingat, itu adalah hari pertama anak masuk sekolah (16 Juli 2012).

"Anak saya semangat sekali berangkat sekolah, Pak. Pagi-pagi sudah bangun sendiri. Lalu membangunkan saya. Terus minta dimandikan. Di sekolah, giliran disuruh menyanyi di depan kelas, juga berani. Menyanyi pakai mikrofon segala," kata ibu ini ceria.

"Lagunya apa, Bu ?" tanya saya dengan perasaan ikut senang.

"Naik kereta api. Pinter lho Pak.... Habis itu, Ibu Gurunya menyuruh anak-anak lain untuk menyanyi bersama dipimpin anak saya.......," katanya lagi. Penuh rasa bangga dan cinta. Khas perasaan seorang Ibu. Juga orang tua pada umumnya.

(Tentang rasa cinta dari orang tua kepada anaknya, saya bersyukur bahwa Tuhan telah mempertemukan saya dengan Mam-Mam dan Papah, sepasang suami istri yang telah membesarkan saya, dalam segala keterbatasan keuangan mereka, dengan doa dan usaha

Papah bekerja sebagai seorang sopir, sedangkan Mam-Mam seorang ibu rumah tangga. Pendidikan mereka hanya SMP saja. 

Mam-Mam sudah meninggal dunia tahun 1995, saat saya belum lagi wisuda sebagai Sarjana Perikanan di Undip. Papah meninggal tahun 2005. 

Blog Holiparent ini saya buat untuk mengenang kebaikan Mam-Mam dan Papah juga. Yang selalu mengatakan bahwa sedapat mungkin, berbuatlah baik kepada semua orang. Semoga blog ini dapat bermanfaat untuk banyak Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak dalam menemani anak-anaknya untuk tumbuh dan berkembang dengan penuh cinta kasih).  

--------------------

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Itu tadi adalah sekelumit kisah nyata yang dialami oleh seorang ibu dalam "memperjuangkan" anaknya untuk bisa mendapatkan sekolah yang baik. "Yang terbaik untuk anaknya".

Ibu ini rela bersusah payah "mencari" Psikolog. Rela bersusah payah menghadap Guru-Guru SD untuk meminta informasi. Bahkan beliau juga beli buku dan baca buku-buku Psikologi (sesuai saran saya, untuk menambah wawasan, karena beliau punya latar belakang pendidikan akuntansi dan kerjanya di bidang keuangan).

Tetapi dalam "proses" perjuangannya ini, ibu ini justru mendapat pengalaman baru. Pengalaman bahwa menggunakan jasa profesional Psikolog itu sangat besar manfaatnya. 

Meskipun beliau tahu bahwa Psikolog akan "menuliskan hasil apa adanya", tidak bisa "sesuai pesanan kita". Dan ini adalah demi kebaikan anak kita juga (supaya dapat diberikan bimbingan dengan tepat).

"Dan ternyata tidak mahal, Pak. Saya kaget ketika biayanya ternyata Rp 125.000. Saya kira mahal," kata ibu ini. "Padahal demi anak, berapapun sudah saya niat-i untuk saya bayar.....".

Kali ini, saya hanya tersenyum. Jujur saja, masalah biaya, itu masalah kesepakatan di antara kedua belah pihak saja. Saya tidak ikut-ikut.
--------------------

Selamat menemani anak.

Selamat menemani anak dengan menggunakan jasa profesional Psikolog.
Ibarat cermin, hasil asesmen psikologi (yang menampilkan keadaan anak kita atau juga diri kita sebagai orang tua "apa adanya") akan meberikan gambaran yang benar, sehingga upaya yang diberikan dalam pendampingan bisa tepat dan terarah.

Semoga dengan demikian akan semakin sirna-lah kata-kata "kalau anaknya dibawa ke Psikolog, berarti anaknya bodoh. Kalau orang tuanya pergi ke Psikolog, berarti orang tuanya stres".

Bukankah orang cantik juga pergi ke dokter kecantikan untuk menjaga dan menyempurnakan kecantikannya ? Jadi, anak / orang tua yang "oke-oke saja" juga sah-sah saja ke Psikolog.....

"Kalau tidak ber-cermin, kita mungkin tidak tahu kalau wajah kita mulai muncul jerawatnya. Dengan ber-cermin, kita jadi tahu bahwa kita perlu pakai obat jerawat. Kalau tidak ber-cermin, kita mungkin juga tidak tahu kalau wajah kita mulai lebih meng-hitam karena terbakar sinar matahari. Dengan ber-cermin, kita jadi tahu bahwa kita perlu pakai bedak atau tabir surya untuk melindungi kulit wajah kita yang sensitif. Orang lain mungkin tidak perlu, karena kulitnya tidak se-sensitif kulit kita. Tetapi kita memerlukannya. Dan kita tahu itu karena kita ber-cermin".

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----o0o-----

  • Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Sarjana di bidang Ilmu Sosial.