Selasa, 27 November 2012

FOKUS PADA HASIL KARYA



"Fokus pada hasil karya," jawab saya kepada seorang teman.

Ceritanya begini. Teman saya ini termasuk orang tua yang peduli pada perkembangan kreativitas anaknya. Dia juga (dalam batas kemampuan keuangannya) berusaha membelikan alat-alat yang diperlukan untuk mendukung proses kreatif anaknya.

Nah, kebetulan anaknya itu memiliki minat pada berbagai bidang : musik, menggambar, komputer, fotografi. Maka, alat-alat yang dibeli pun bermacam-macam. 

"Jadi, anak saya sebenarnya berminat pada bidang apa, ya ?" tanyanya kepada saya.

"Pelukis tidak mem-bingung-kan dirinya dengan apa aliran lukisannya. Yang penting dia melukis. Yang penting dia berkarya. Justru dari situ akan muncul hasil karya yang unik dan orisinil, bukan jiplakan," kata saya.

"Maksudnya ?" tanyanya lagi.

"Begini. Kalau anak punya kamera untuk memotret, jangan diarahkan untuk semata-mata ber-kegiatan memotret. Tetapi didukung untuk meng-hasil-kan karya dengan kameranya itu," jawab saya.

"Saya belum paham maksudnya...," kata teman saya lagi.

"Begini. Katakanlah, anak kita dukung untuk menghasilkan karya dalam bentuk sebuah film. Ketika anak fokus pada hasil karya untuk menghasilkan sebuah film, maka otomatis dia akan menggunakan komputer untuk menghasilkan skenario yang akan dimainkan dalam film itu. Dia juga otomatis akan menggunakan kamera video untuk melakukan shooting film. Dia juga akan kamera fotografi untuk memotret adegan-adegan sebagai pelengkap film itu. Dia juga menggunakan komputer lagi, tetapi kali ini untuk mengedit atau merangkai itu semua menjadi sebuah film. Dia bahkan akan menggunakan komputer juga untuk mem-burn CD. Jadi, alat-alat itu bisa dipakai bergantian, dalam suatu proses menghasilkan suatu karya... Semuanya dikombinasikan...."

--------------------

Seorang teman yang saya akui memang berkepribadian kreatif (dia bekerja sebagai ahli komputer di sebuah bank) sering bercerita kepada saya bahwa dia membeli alat-alat yang belum jelas untuk apa. "Tetapi saya kira-kira sudah tahu, Pak...itu akan saya pakai dalam proses membuat ini atau itu...," katanya.

Saya tidak mencela dia. Saya bahkan mengagumi dia. Karena dia tidak secara monoton hanya memikirkan penggunaan alat itu sendiri, tetapi bagaimana alat itu dapat digunakannya untuk menghasilkan sebuah karya, dengan mengkombinasikannya dengan alat-alat lain (yang sudah dimilikinya).

Dan dari situlah, lahir karya-karya yang unik...dan orisinil...

--------------------

Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

---o0o---   

Senin, 26 November 2012

MELATIH KEPEKAAN KOMPOSISI



Hari Minggu kemarin saya olah raga murah meriah dengan berjalan kaki ke pantai yang letaknya 1 jam perjalanan kaki dari rumah.

Ada banyak orang yang berwisata dengan keluarganya di pantai ini. Anak-anak kecil asyik didampingi orang tuanya memberi makan rusa totol  yang berada di dalam kandang. Memang ada orang yang duduk di dekat kandang rusa totol itu, menjual daun-daunan untuk pakan rusa totol. Memang, ini bukan kebun binatang dengan koleksi binatang yang lengkap. Tetapi memberi makan rusa sudah membuat anak-anak ini gembira.

--------------------



Saya sendiri bersama dengan istri dan anak berjalan-jalan di dermaga kayu yang sederhana, yang terbuat dari bilah-bilah kayu. Kami membawa kamera digital, dan kesempatan seperti ini bisa digunakan untuk refreshing sekaligus belajar di alam terbuka : membuat foto dengan objek yang cenderung tidak biasa, yang mengasah kepekaan masalah komposisi gambar. Yang saya maksud adalah ini : mengajak anak untuk memiliki rasa barang apa yang indah untuk dipotret, dan dari sudut pandang mana.

Teori tentang ini memang banyak ditulis di buku-buku, tetapi ketrampilan seperti ini hanya bisa didapat dari praktek.

"Seni itu masalah rasa. Dan itu menentukan indah tidaknya karya," saya selalu berkata demikian kepada anak saya. Juga kepada diri saya sendiri. "Saya sudah banyak bertemu orang yang kameranya luar biasa mahal, tetapi hasil fotonya tidak enak dilihat, karena sudut pangambilan gambarnya tidak pas".

---------------------



Memotret dapat menjadi alat yang efektif untuk memulai bersosialisasi dengan banyak orang ketika orang sudah dewasa / di dunia kerja. Itu pengalaman saya. Terus terang, karena saya tidak menarik secara fisik, tidak mahir olah raga yang di-favorit-kan kebanyakan orang, tidak bisa main gitar dan suara saya pun pas-pas-an kalau menyanyi. Maka, memotret dan membagi-bagikan foto menjadi sarana memulai sosialisasi dengan banyak orang.

Dari pengalaman pribadi seperti inilah, saya selalu memberikan sharing kepada banyak orang tentang perlunya menemani anak mengasah ketrampilan memotret, mengasah kepekaan tentang komposisi dan sudut pengambilan gambar. Shingga bisa menghasilkan foto yang enak dilihat.

Ya. Siapa tahu, ini memang berguna untuk anak kita nantinya ?

----------------------

Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----o0o-----

Tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph.

Foto-foto oleh Bernardine Agatha dan Constantinus.  

Minggu, 25 November 2012

GAYA BELAJAR


Gaya belajar itu bisa bermacam-macam. Dan tiba-tiba saja saya jadi ingat anak-anak kucing yang sedang belajar melepas tali sepatu (?). Mereka menikmatinya... Jadi, bagaimana kalau kita mendukung anak kita supaya mereka bisa belajar dengan gaya mereka sendiri...yang mengasyikkan ?


Saya masih ingat, sewaktu saya masih SD kelas 5 atau 6, ibu saya terlihat senang kalau saya menonton televisi (waktu itu hanya ada TVRI dan TPI saja). Beliau akan berkata, "Menonton tivi itu baik juga...jangan belajar terus...nanti otak bisa terlalu panas...". Padahal, saya menonton televisi sambil lalu saja, karena hal itu saya lakukan sambil....belajar !

Saya memang ketika itu (masih SD) senang belajar. Biasanya, saya belajar di teras rumah saya ketika sore hari, di Jalan Sriwijaya 132 Semarang, sambil melihat mobil dan sepeda motor yang berlalu-lalang di depan rumah (rumah saya letaknya lebih tinggi dari jalan raya).

Kalau malam, saya bisa belajar di mana saja di dalam rumah, tidak harus di dalam kamar saya. Biasanya sambil mendengarkan siaran radio. Atau sambil nonton televisi !

Ya, benar ! Saya belajar sambil menonton siaran televisi, tetapi karena fokus pada buku pelajaran, saya tidak tahu apa sebenarnya siarannya.

Pokoknya, saya kalau belajar harus ada iringan-nya : entah radio, entah televisi, boleh juga lagu dari kaset. Saya tidak bisa belajar kalau suasana sunyi senyap. Ini saya lakukan sampai SMA, bahkan sampai kuliah.

Sudah dapat diduga, kalau menghafal, saya harus sambil mengucapkannya keras-keras. Sambil jalan-jalan mondar-mandir di dalam rumah juga. Kalau tidak begitu, apa yang dibaca tidak bisa segera masuk / hafal di dalam otak.

Bahkan, sebagai pemanasan sebelum mulai belajar, saya juga berjalan kaki ke toko buku Sumber Agung di Jalan Sompok Semarang yang saya tempuh dengan berjalan kaki. Pulang pergi sekitar 30 menit. Saya membeli bolpoin, penghapus, penggaris, atau apa saja. Pokoknya, badan ini harus bergerak. Setelah itu, baru siap belajar / menghafal.

--------------------

Itu memang sekelumit cerita tentang cara belajar yang saya lakukan sejak kecil. Tentu saja, ketika SMP, SMA, kuliah, gaya belajar saya tidak sama persis dengan ketika masih SD. Ada periode ketika saya tidak lagi jalan mondar-mandir ketika menghafal, yaitu ketika saya sudah mahasiswa S-1 maupun S-2. Alasannya sederhana saja : sudah berumur. Kalau jalan mondar-mandir, menuh-menuhin rumah ! Sebagai gantinya, saya banyak membuat sketsa tulisan / bagan ringkasan materi yang saya hafalkan. Tidak jarang, saya tulis di... dinding kamar saya ! Kalau saja H. Rhoma Irama, pimpinan Orkes Melayu Soneta tahu hal ini, bisa jadi beliau akan berkata, "Terlalu....!" (dengan nadanya yang sangat khas).

--------------------

Saya hanya mau men-sharing-kan pengalaman (dan keyakinan) saya bahwa gaya belajar itu bisa dan boleh bermacam-macam, yang penting hasilnya bagus. Penuh Konsentrasi. Tentu saja, jangan mengganggu ketertiban umum / mengganggu ketertiban orang lain.

Tetapi sewaktu masih jadi Guru Les Privat Matematika dan IPA, saya memang menganjurkan murid saya untuk menyiapkan sebelum belajar  kopi / teh yang akan diminum selama belajar, juga menyediakan sebelum belajar makanan kecil yang akan dijadikan cemilan sewaktu belajar. Jangan sampai di tengah-tengah kegiatan belajar, konsentrasi belajar terganggu karena harus bikin kopi / teh atau pergi belanja makanan kecil di warung. Benar, saya memang membeli bolpoin atau penghapus atau penggaris atau apa saja yang lain di toko buku Sumber Agung untuk pemanasan sebelum belajar. Tetapi itu saya lakukan sebelum saya mulai belajar. Itu saya lakukan sebagai pemanasan fisik. (Mendengarkan radio atau menonton televisi pun juga saya lakukan sejak awal proses belajar, dengan konsentrasi pada belajar, bukan pada radio atau televisi. Kalau sedang proses belajar lalu di tengah-tengah proses itu menonton televisi, ya jelas televisinya yang menjadi fokus konsentrasi alias konsentrasi belajarnya jadi hilang).

--------------------

Ada cerita lain lagi. Anak saya kalau belajar juga unik. Dia sekolah dari jam 07.00 sampai jam 15.00-an (termasuk kegiatan ekstra kurikuler), biasanya ketika pulang dia melepas penat dengan bermain piano sekitar 30 menit. Setelah itu...dia makan siang (padahal sudah sore) sambil membaca buku pelajaran buat besok pagi / untuk mengerjakan PR pelajaran besok....sampai akhirnya tertidur. Biasanya, dia bangun sekitar pukul 18.00 untuk mandi, kemudian kadang belajar, kadang.....tidur lagi ! Teman-temannya yang menelepon ke rumah saya rasa ada yang cukup heran : setiap kali ditelepon sekitar jam 19.00an, bisa jadi anak saya sedang tidur !

Memang, anak saya sudah terbiasa menentukan jam belajarnya sendiri : bangun sekitar jam 21.00, kemudian belajar. Biasanya sampai jam 24.00 atau 01.00, untuk kemudian tidur (atau tertidur...karena seringkali masih lengkap dengan atribut kaca mata minus, buku dan bolpoin di tangan...).

Saya tahu benar karena saya juga terbiasa menulis artikel sampai pagi / dinihari.

Lalu, seringkali (kalau memang belajar / PR-nya belum selesai), anak saya bangun sendiri dari tidurnya sekitar jam 02.30 atau 03.00, untuk kemudian belajar sampai...jam 05.30-an...sampai waktunya dia mandi pagi, mengemasi buku / menata tas sekolah, sarapan, dan...berangkat sekolah.

Hore....! Hari baru telah tiba ! (Dan sudah tidak tidur semalaman).

--------------------

"Anak belajar dengan pola unik seperti itu karena disuruh, Pak ?" tanya seorang teman kepada saya, ketika sedang berdiskusi tentang gaya / waktu belajar anak, dan saya memberikan contoh gaya belajar anak saya.

Disuruh sih tidak, tetapi menirukan gaya belajar saya, iya. Sebab saya biasa tidak tidur semalaman untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah...sampai usia saya yang sudah 40 tahunan ini. Atau, bisa jadi karena faktor genetis juga. Jadi, selain proses belajar sosial (begitu teman-teman Psikolog bilang), juga bisa karena faktor genetis atau sifat menurun. Guru Biologi saya di Kolese Loyola, Pak Untaryoto, dulu mengajarkan kepada saya bahwa itulah yang disebut fenotip, yaitu genotip ditambah faktor lingkungan.

"Tidak. Saya bahkan tidak bilang dia harus belajar berapa jam," jawab saya. "Paling saya hanya bertanya, besok ulangan apa, materinya tentang apa, dan ada PR apa saja".

"Jadi, Pak Tinus tanya tentang materi ulangan dan PR juga?"

"Ya. Saya juga setiap hari bertanya, tadi ulangan pelajaran anu bagaimana (saya sudah tahu tadi ulangan apa karena malam sebelumnya sudah bertanya), ulangan apa yang dibagikan hasilnya... Tetapi anak biasanya yang cerita dengan sendirinya... Saya cuma memancing saja..."

"Bapak memeriksa PR yang dikerjakan anak?"

"Tidak. Tetapi kalau anak bertanya tentang bagaimana cara mengerjakan PR nomor-nomor tertentu karena anak tidak tahu, saya membantu mengerjakannya...jam berapapun...termasuk jam 04.00 atau jam 05.00...," jawab saya. "Kalau saya tidak tahu, saya bilang tidak tahu jawabannya. Misalnya PR Sejarah... Tetapi setidaknya, saya siap dibangunkan jam berapapun untuk menemani anak belajar...dan karena itu anak tidak perlu disuruh-suruh belajar...karena sudah muncul kesadaran tentang perlunya belajar...".

--------------------

Beberapa hari yang lalu anak saya ada tugas dari sekolah untuk membuat sinopsis novel. Dia mengerjakannya berhari-hari. Dan ketika esok paginya harus dikumpulkan, dia memilih untuk tidak tidur semalaman...sampai pagi...sampai tugas itu selesai...dan langsung berangkat sekolah.

Saya, seperti biasa, menemaninya....sambil menulis artikel untuk blog dan beberapa media massa. Sepanjang malam. Sampai pagi.

“Begadang jangan begadang...kalau tiada artinya... Begadang boleh saja...kalau ada perlunya...,” begitu kata H. Rhoma Irama dalam lagunya yang sangat terkenal : Begadang. Entah, tiba-tiba saja saya jadi ingat lagu yang sangat populer ketika saya masih SD dulu. Populer sampai sekarang ! (Di youtube.com, saya melihat group band luar negeri menyanyikan lagu ini! Ada-ada saja....)

--------------------

"Belajar itu bukan hanya melatih kemampuan kognitif / otak, tetapi juga keuletan dan ketekunan...daya tahan tubuh dan kemampuan mengatasi rasa bosan / ingin menyerah," kira-kira begitulah cerita saya kepada anak, ketika dia masih SD.

Ini memang saya ceritakan kepada anak, supaya anak mempunyai daya juang tinggi dalam belajar, bukan asal mendapat nilai baik saja. Tentu saja, mencontek tidak termasuk keuletan yang saya rekomendasikan.

Dan, tentu saja saya juga harus berani memberikan contoh menjalani itu semua dalam belajar sekaligus menemani anak.

---------------------

"Apa anak saya sebaiknya juga pakai gaya seperti itu, Pak ?" tanya teman saya itu.

"Jangan. Ini gaya belajar yang ekstrim, yang radikal. Jangan ditiru. Tetapi temani anak menemukan gaya belajarnya sendiri," jawab saya. "Siapa tahu lebih ekstrim dan lebih radikal. Boleh saja. Yang penting cocok dan bisa dinikmati anak, hasilnya baik, dan tidak mengganggu ketertiban umum".

--------------------

Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----o0o-----

Terima kasih atas kunjungan Anda di 
www.hukumdanpsikologi.blogspot.com 
(Blog Hukum dan Psikologi untuk Dunia Kerja / Bisnis)

www.hukumdanpsikologi.blogspot.com
akan terbit lagi
Senin 26 Nopember 2012
 (terbit setiap hari kecuali Minggu dan Hari Libur Nasional)

Untuk membaca, silakan klik tombol di kanan atas 

Sabtu, 24 November 2012

CERITA TENTANG DUNIA KERJA




Kalau anak kita sudah SMP, tidak ada salahnya menceritakan kepadanya tentang sedikit gambaran mengenai dunia kerja. Sedikit saja. Tidak perlu banyak-banyak.

Misalnya, tentang orang seperti apa yang dicari / dijadikan karyawan oleh perusahaan. Entah anak kita nantinya akan jadi pemilik perusahaan atau menjadi karyawan, cerita seperti ini tetap bermanfaat.

Tetapi, apa cerita seperti itu perlu ?


--------------------


Saya punya seorang teman. Dia pintar. Gelar akademisnya banyak. Dan dia memang mengagung-agungkan kepintarannya itu. Demikian pula ada banyak orang yang silau dengan kepintarannya itu. Sebelum akhirnya mereka akhirnya (terpaksa) berkata kepada saya, "Kok kalau kerja nggak pernah bener, ya ? Hasilnya nggak jelas. Teorinya banyak, tetapi pelaksanaannya nol. Komunikasinya parah. Banyak yang sakit hati dengan omongannya. Selalu cari aman dan menyalahkan orang lain". Dan masih banyak lagi.

Saya tidak heran. Hasil asesmen psikologinya memang menunjukkan hal itu. Dia pandai. Tetapi kepribadian dan sikap kerjanya di bawah standar.


--------------------


Di banyak perusahaan, pandai atau pintar itu penting. Tetapi anehnya, tidak menduduki peringkat pertama. Yang menduduki peringkat pertama, kedua, dan ketiga justru yang terkait dengan kepribadian dan sikap kerja.

Pertama, perusahaan mencari orang yang dapat dipercaya / dapat diandalkan. Orang ini menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab, dan tidak menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Kedua, perusahaan mencari orang yang bisa bekerja dalam tim. Ketrampilan berkomunikasi termasuk yang dibutuhkan di sini.

Ketiga, perusahaan mencari orang yang bisa bekerja mengatasi / menyelesaikan masalah meskipun deskripsi pekerja ketikaannya tidak terlalu jelas. Perusahaan kurang begitu tertarik dengan karyawan yang hanya bisa bekerja kalau deskripsi pekerjaannya jelas.

Keempat, barulah pekerjaan melihat orang yang pandai / pintar. Jadi, ini memang diperhitungkan, tetapi tidak di prioritas pertama / teratas.


--------------------


Selamat menemani anak.

Semoga anak jadi punya gambaran bahwa dia tidak saja harus pandai / pintar, tetapi juga bisa dipercaya, karena hal ini memang harus dipupuk sejak kecil dan nantinya bermanfaat ketika sudah dewasa / bekerja.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".


-----o0o----- 

 

Jumat, 23 November 2012

UNSUR SEKS DALAM NOVEL




Saya sudah lama tidak membaca buku novel. Penyebabnya antara lain karena di zaman sekarang ini "semuanya ada gambarnya". Bagi saya pribadi (mungkin bagi banyak orang lain juga), gambar memang lebih menarik daripada tulisan. Ini bagi saya pribadi (sekali lagi, mungkin bagi banyak orang lain juga) berarti bahwa buku novel yang tidak ada gambarnya semakin jarang disentuh. "Malas membacanya, isinya cuma tulisan semua," begitu kira-kira kata saya dalam hati.

Padahal, ketika masih SMP sampai umur 20-an, saya jago membaca buku novel dan buku sastra lainnya yang "tidak ada gambarnya".

--------------------

Hari-hari ini anak saya mendapat tugas dari sekolah untuk membuat sinopsis salah satu novel. Karena dia punya koleksi buku novel remaja masa kini, maka salah satu buku itu yang dia buat sinopsisnya. Dia baca berulang-ulang, meskipun sebelumnya buku itu juga sudah selesai dibacanya.

Dan seperti biasa, saya berusaha untuk menemani anak. Dalam arti : anak saya membaca novel, saya juga ikut menemani baca novel.

Maka, saya pun membeli beberapa buku novel. Beberapa novel John Grisham, pengacara Amerika yang pindah profesi jadi penulis novel dan karena itu novelnya selalu bercerita tentang para pengacara, memang sudah saya baca dan jadi koleksi saya sejak lama. (Begitu lamanya, sampai-sampai saya tidak yakin novel itu sekarang tersimpan di mana). Tetapi beberapa novel John Grisham memang ada yang belum saya beli / baca. Maka, saya membeli dan membaca novel yang sebenarnya sudah cukup lama yang berjudul "Ganti Rugi" (judul aslinya "The King of Torts"). Ini buku buatan John Grisham tahun 2003. Selain itu saya beli / baca juga novelnya  Sandra Brown yang baru, tahun 2012. Judulnya "Dramatis" (judul aslinya "Smash Cut").



Mulanya, saya tidak yakin apakah saya masih bisa menikmati (baca : berkhayal tentang) cerita novel itu. Tetapi saya coba saja.

Pertama membaca, baru sekitar 10 halaman, sudah bosan. Bosan melihat banyak tulisan. 100% tulisan, tidak ada gambarnya sama sekali.

Lalu novel itu saya letakkan.

Besoknya, saya melanjutkan membaca. Lumayan, setelah membaca cukup banyak halaman (cukup tebal), baru saya menyerah lagi.

Novel saya tutup lagi.

Tetapi kali ini, muncul rasa penasaran, "Bagaimana kelanjutannya, ya ?"

Maka, keesokan harinya saya melanjutkan membaca lagi. Kali ini, khayalan di kepala jadi lebih hidup. Rasanya seperti menonton bioskop. Dan novel itupun tamat saya baca.

(Saya membaca novel Sandra Brown lebih dulu. Setelah itu, saya membaca novel John Grisham. Kali ini, rasanya lebih mudah, karena sudah lebih mudah berkhayal sambil membaca kalimat-kalimat di dalamnya).

--------------------

Membaca novel memang bukan salah satu kebutuhan pokok manusia. Seingat saya, dulu ketika di SD saya diajar bahwa kebutuhan pokok itu adalah pangan, sandang, papan. Jadi, novel memang tidak termasuk.

Tetapi saya juga ingat pesan para guru saya (guru Bahasa Indonesia), entah siapa, saya sudah lupa, yang mengatakan bahwa membaca novel itu ada gunanya. Pertama, membuat kita terlatih untuk banyak membaca tuisan. Kedua, membuat kita mahir berimajnasi, justru karena novel tidak ada gambarnya (kita bisa bebas betimajinasi semau kita, sepanjang sesuai dengan kalimat-kalimat novel itu).

Bagi saya, justru poin kedua ini yang menarik. Membaca novel membuat kita mahir berimajinasi. Dan tentu saja ini juga berlaku bagi anak-anak kita. Dengan mahir berimajinasi, anak menjadi kreatif. Dia tidak hanya menjadi konsumen atas apa saja yang sudah digambarkan oleh orang lain / yang disajikan oleh buku bergambar.

Tentu saja, novel yang dibaca harus sesuai dengan usia. Kalau anak usia SD, ada novel Lima Sekawan yang sekatang diterbitkan ulang dengan edisi cover yang baru. Di novel seperti ini, masih ada sedikit ilustrasi untuk membantu khayalan anak.

Untuk usia SD dan SMP, ada banyak sekali novel remaja. Untuk SMA, menurut saya sudah waktunya membaca novel-novel sastra (seperti ketika saya SMA dulu), baik itu karya sastra Indonesia maupun dunia. Apalagi bagi mahasiswa, membaca novel itu tidak terkait dengan kuliah di jurusan apa. Saya mahasiswa Perikanan ketika membaca "Ronggeng Dukuh Paruk", "Pengakuan Pariyem", dan "Ikan-Ikan Hidu, Ido, Homa".

--------------------

"Bagus John Grisham atau Sandra Brown ?" tanya istri saya.

"Sandra Brown plot ceritanya meledak, ada unsur misterinya. John Grisham plot ceritanya tidak meledak, tidak ada yang mengejutkan, tetapi enak diikuti," jawab saya. "Kalau Sandra Brown, kandungan unsur seks-nya agak banyak, kurang cocok untuk anak SMP. Kalau John Grisham, unsur seks-nya sangat sedikit, masih bisa dibaca oleh anak SMP. Kaljmat-kalimat John Grisham juga lucu-lucu, bisa bikin senyum".

Tentu saja, jawaban saya ini hanya untuk dua novel yang baru saja saya baca. Bukan tentang keseluruhan novel tulisan mereka.

"Jadi, novel The King of Torts bisa dibaca Agatha, ya?" yanya istri saya meyakinkan dirinya sendiri.

Agatha adalah anak kami. Dia sangat senang membaca dan juga sangat senang menulis. Artikelnya banyak dimuat di majalah sekolahnya, dan dia bisa mendapat honor ratusan ribu dari itu. Agatha masih duduk di kelas VIII SMP.

"Ya," jawab saya.

--------------------------

Unsur seks memang menjadi bumbu penyedap dalam novel. Ini pernah diulas di Majalah Sastra "Horison" ketika saya masih SMA atau kuliah dulu (akhir 1980-an atau awal 1990-an). Ada novel dewasa / umum yang unsur seksnya sedikit, jadi aman dibaca anak SMP. Ada yang unsur seksnya banyak, sehingga hanya cocok dibaca anak SMA atau mahasiswa. Tentu saja, unsur seks ini tidak terlalu vulgar, tetapi unsur seks tetaplah unsur seks, sehingga hanya cocok dibaca oleh anak usia tertentu.

Saya jadi merenung : kalau orang tua tidak suka membaca novel, bagaimana bisa memberikan arahan kepada anak bahwa novel yang ini sudah cocok dibaca oleh anaknya yang masih SMP, sedangkan novel yang itu baru cocok dibaca kalau besok anaknya sudah SMA ?

--------------------

Selamat menemani anak.

Selamat membaca novel dan berkhayal bersama anak. Tentu saja, yang sesuai dengan usia anak. Karena itu, untuk novel umum / dewasa, orang tua perlu membaca lebih dulu. Supaya anak tidak dilarang membaca semua novel umum / dewasa, tetapi anak juga jangan dibiarkan membaca semua novel umum / dewasa. Semua itu tergantung kadar unsur seks yang ada di dalam novel, yang diketahuo oleh orang tua ketika orang tua sudah membacanya.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".


Catatan Tambahan :


PERKENALAN 
BLOG HUKUM DAN PSIKOLOGI DUNIA KERJA / BISNIS

(www.hukumdanpsikologi.blogspot.com)

Saya harus banyak mengucapkan terima kasih  kepada beberapa pembaca setia yang selalu saja menanyakan kepada saya, "Mengapa blog Holiparent akhir-akhir ini beberapa kali tidak terbit ?"

Dengan malu-malu saya memang harus mengakui bahwa hal itu terkait dengan persiapan saya membuat blog lain, yang rencananya beriringan terbit setiap hari, atau setidaknya terbit dua hari sekali, bersama dengan blog inspirasi pendidikan kreatif Holiparent ini.

Blog yang baru ini, yang tadi saya sebut akan terbit beriringan dengan Holiparent ini, saya buat atas dorongan dari relasi yang saat ini terkait dengan bidang hukum dan psikologi di dunia kerja / dunia orang dewasa. Bagi para pembaca setiap Holiparent yang kebetulan juga aktif di dunia kerja / bisnis, semoga blog baru ini juga dapat bermanfaat dalam menjalankan pekerjaan / bisnis, setidaknya dapat menambah luas wawasan. Adapun bagi pembaca setia Holiparent yang kebetulan tidak aktif di dunia kerja / bisnis, semoga blog baru ini juga memberikan manfaat dalam menambah wawasan ketika mendampingi anak, sebab di era sekarang ini memang ada manfaatnya bahwa sejak SD kelas 4 (setidaknya) anak sudah ditemani oleh orang tua untuk tahu tentang apa yang disebut sebagai hukum positif di negara ini.

Saya menamai blog ini "Hukum dan Psikologi Dunia Kerja / Bisnis" dengan alamat www.hukumdanpsikologi.blogspot.com.  Dan dari beberapa diskusi dengan relasi yang telah terbentuk sejak tahun 1995, yaitu sejak saya masih bekerja di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, maka motto yang dirasa tepat untuk blog ini adalah "Hukum untuk Kemanusiaan yang Adil dan Beradab".

Beberapa artikel saya yang pernah dimuat di media massa, misalnya yang dimuat di harian Suara Merdeka di akhir tahun 2011 dengan judul "Persepsi Mobil Mewah" (yang banyak dikutip oleh beberapa blog / website antikorupsi), akan menjadi salah satu rujukan isi blog hukum dan psikologi dunia kerja / bisnis ini.

Seperti juga halnya blog Holiparent ini, saya berharap bahwa semoga blog hukum dan psikologi dunia kerja / bisnis ini juga dapat menjadi sarana yang baik guna men-sharing-kan pengalaman-pengalaman saya dalam mendampingi relasi-relasi yang ada selama ini, dengan semangat bahwa "pengalaman seseorang semoga menambah luas wawasan orang lain".

Jadi, silakan mampir di www.hukumdanpsikologi.blogspot.com.

"Hukum untuk Kemanusiaan yang Adil dan Beradab".

-----o0o-----

Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Praktisi Psikologi Industri dan Komunikasi.


Constantinus bekerja untuk PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk di Bagian Jasa Luar Negeri / Ekspor-Impor, kemudian bekerja untuk salah satu perusahaan Texmaco Group di Bagian Marketing  Ekspor. Aktif menulis di berbagai media massa dan memberikan pelatihan tentang hukum dan psikologi secara praktis terkait bidang kerjanya sejak tahun 1999. Saat ini bekerja sebagai komisaris independen di beberapa perusahaan setelah dinyatakan lulus fit and proper test oleh Bank Indonesia pada tahun 2007.
Pendidikan bankir diperoleh di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Pendidikan tentang kepemimpinan diperoleh di Latihan Kepemimpinan Pemuda Tingkat Nasional Angkatan XII di Cibubur yang diadakan oleh Kantor Menpora Republik Indonesia. Pernah mendapatkan pendidikan formal di bidang Perikanan dan Kelautan, Hukum, Psikologi, dan Manajemen.