Mungkin anak kita sekarang sudah kelas 5 atau 6 SD, atau bahkan sudah duduk di bangku SMP. Tentu, dengan begitu anak kita sudah tidak tertarik / minta dibelikan balon gas lagi. Tidak seperti pada saat masih TK atau kelas 1 SD, yang setiap kali melihat balon gas (saya dulu biasa menyebutnya balon karbit ketika masih kecil) matanya langsung menjadi hijau.
Kebetulan, anak saya sekarang sudah kelas VII SMP. Dan, tentu saja juga tidak minta dibelikan balon gas lagi. Tetapi, setiap kali kami lewat di dekat penjual balon gas (biasanya di kawasan Simpang Lima, Kota Semarang) atau setiap kali melihat ada penjual balon gas lewat (biasanya menggunakan becak yang dimodifikasi seperti terlihat pada gambar di atas), saya dan anak saya selalu saja membahas tentang balon gas : bernostalgia tentang masa kecil saya yang begitu indah setiap kali dibelikan balon gas, bernostalgia tentang masa kecil anak saya semasa masih TK atau kelas 1-2 SD, dan juga membahas kenapa balon gas itu selalu saja bisa terbang.
--------------------
Pembicaraan tentang balon gas biasanya juga merembet ke masalah per-balon-an yang lain : tentang balon yang pada mulanya kempes, kemudian ketika diisi angin / gas menjadi melembung, dan kalau ditambah angin terus akhirnya bisa meletus. Atau, tentang balon / balon gas yang kalau didiamkan selama 1 atau 2 hari lama-kelamaan akan kempes secara perlahan-lahan.
Balon yang kempes ketika diisi udara menjadi melembung karena ada udara yang terjebak di dalam balon itu, dan tidak bisa langsung / segera keluar lagi. Mengapa ? Sebab dinding balon "limit nol" lubangnya. Mengapa dikatakan "limit nol" ? Sebab sebenarnya tetap ada lubangnya juga, tetapi sangat kecil sehingga dikatakan "limit nol" alias hampir nol mutlak, tetapi sebenarnya tetap ada lubang yang kueciiiiiiiil sekali. Dan itu sebabnya setelah 1 atau 2 hari pada akhirnya ada udara / gas yang sedikit demi sedikit keluar lewat lubang (atau : lubang-lubang) yang suangat kueciiiiiiiiil ini, dan pada akhirnya balon itu menjadi kempes juga (kalau pada balon gas : tidak bisa terbang lagi).
--------------------
Memang, teori limit belum diajarkan di Matematika SMP apalagi SD. Kalau tidak salah, saya mendapatkan teori limit ketika dalam pelajaran Matematika di SMA (ketika kuliah, saya juga dapat kuliah ini).
Tetapi itu tidak berarti bahwa anak tidak bisa kita ajak ngobrol tentang teori limit : bahwa sesuatu yang tampaknya tidak ada, ternyata masih ada juga, meskipun sedikit sekali / kecil sekali. Kalau dalam cerita di atas, tentang lubang di dinding balon / balon gas yang limit nol : sepertinya (seolah-olah) dinding balon itu rapat / tidak ada lubangnya / tidak bocor, padahal sebenarnya tetap ada lubang-lubang kecilnya, dan lubang-lubang itu memang linit nol. Anak dengan demikian menjadi tahu / sadar bahwa hampir tidak ada bukan berarti sama sekali tidak ada.
--------------------
Sebagai seorang praktisi psikologi industri, saya melihat / mengamati bahwa ada kejadian-kejadian yang tidak diinginkan ternyata terjadi karena manajemen melupakan keberadaan limit nol ini : bahwa yang hampir tidak ada / yang tampaknya tidak ada itu bukan berarti benar-benar tidak ada.
Misalnya, seorang karyawan yang baik, yang tampaknya sudah tidak ingin pindah kerja ke perusahaan lain, ternyata pindah kerja ke perusahaan lain juga. Lalu, manajemen kaget.
Sebenarnya, meskipun hanya limit nol, tetapi karyawan itu toh masih punya keinginan pindah kerja ke perusahaan lain. Dan ketika manajemen tidak memperhatikan dia sebagaimana mestinya (apalagi dia termasuk karyawan yang baik kerjanya), maka yang limit nol itu akan menjadi nyata : akhirnya pindah juga.
Ini merupakan kejadian nyata di salah satu perusahaan, kebetulan di luar kota Semarang.
--------------------
Selamat menemani anak.
Selamat menemani anak untuk memahami teori-teori ilmiah (dalam hal ini Matematika) dengan menggunakan hal-hal yang ditemui sehari-hari (dalam hal ini balon / balon gas), yang nantinya (semoga) secara alamiah membuat anak (pada saat dewasa nanti / saat sudah memasuki dunia kerja) sudah memahami benar apa makna limit nol : bahwa yang seolah-olah tidak ada (bahkan memang benar-benar hampir tidak ada saking sedikitnya) itu sebenarnya masih ada juga.
"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".
-----o0o-----
Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Sarjana di bidang Ilmu Sosial. Magister Manajemen di bidang Marketing, Praktisi Psikologi Industri, dan Praktisi Perbankan.