Dalam 10 tahun terakhir ini saya bekerja "mendampingi" beberapa perusahaan di Jawa Tengah dan Yogyakarta sebagai konsultan dan praktisi di bidang legal, marketing communications (marcom), dan psikologi industri.
Nah, pada suatu hari, di salah satu perusahaan itu terjadi "kegemparan".
"Kegemparan" ini tidak ada kaitannya dengan bidang legal yang saya tangani. Juga tidak dengan bidang marketing communications. Dengan psikologi industri juga kurang nyambung.
Tetapi kalau dengan psikologi, memang ada kaitannya. Terutama pendidikan anak.
--------------------
Zaman sekarang, handphone sudah jadi "barang umum". Artinya, banyak orang memilikinya.
Nah, di beberapa jenis / merek handphone, memang ada fasilitas untuk membentuk "group". Para pengguna handphone jenis / merek tertentu sudah biasa membentuk / mengikuti beberapa "group". Maksudnya supaya praktis : kalau dia kirim suatu pesan ke "group" ini, maka seluruh kenalannya se-"group" pasti akan menerima pesan itu. Jadi, memang praktis.
Atau, bisa jadi juga : runyam !
--------------------
Salah seorang Bapak yang memiliki jabatan sebagai Direktur Utama di sebuah perusahaan perbankan yang menceritakan "kegemparan" (yang saya sebutkan di awal tulisan ini) kepada saya. "Kegemparan" yang terjadi pada "group handphone"-nya. Saya sendiri tidak tahu, karena saya tidak termasuk dalam "group" ini.
Jadi, menurut cerita Sang Bapak ini, suatu pagi (pagi-pagi sekali, sebelum jam kantor, dan juga sebelum jam anak-anak berangkat sekolah pagi) masuk pesan ke "group handphone"-nya, satu pesan yang aneh sekaligus kasar / tidak senonoh.
Pesan ini dikirim oleh seorang Ibu yang kebetulan menjadi Manajer di salah satu perusahaan.
Namanya juga "pesan masuk ke group handphone", maka seluruh "anggota group" itu menerimanya.
Pesan itu bunyinya, "A*U" atau "AS*" dan seterusnya. Diulang-ulang. (Mohon maaf, terpaksa saya sensor).
Tentu saja, para penerima pesan dalam "group" ini tidak menjawab apa-apa. Karena merasa aneh. Dan juga bingung.
--------------------
Keanehan dan kebingungan ini akhirnya terjawab siang harinya.
Sang Ibu pemilik handphone itu mengirim pesan ke "group". Kali ini pesannya "normal". Intinya, beliau minta maaf atas pesan yang dikirim ke "group" tadi pagi. Sebab pesan itu dikirim tanpa sepengetahuannya, oleh anaknya yang baru duduk di kelas 3 SD, sebelum berangkat sekolah.
Beliau berkata bahwa anaknya diam-diam mengambil dan menggunakan handphone milik beliau.
Wah !
--------------------
Tentu saja, semua teman se-"group" menjawab, "Tidak apa-apa".
Tetapi sesungguhnya, banyak di antara mereka yang masih bertanya-tanya (termasuk Bapak yang menceritakan hal ini kepada saya), "Kok bisa-bisanya anak mempunyai kosa kata kasar seperti itu. Belajar dari mana, ya ?"
--------------------
Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,
Tentu saja, pesan "tidak senonoh" seperti itu juga bisa saja dikirim oleh anak lewat handphone Sang Ayah. Tidak hanya dari handphone Sang Ibu.
Jadi, renungan yang pantas kita lakukan di sini adalah "bukan tentang handphone Ayah atau Ibu yang digunakan anak" untuk mengirim pesan tidak senonoh, tetapi :
Pertama, kita memang harus hati-hati ketika berbicara di depan anak (atau ketika dapat didengar anak). Mungkin saat itu kita sedang mengemudikan kendaraan, dan tiba-tiba didahului oleh kendaraan lain. Kita jadi jengkel. Maka keluarlah kosa kata "A*U" tadi. Ini, (dan juga kosa kata yang sama / sejenis) akan diingat oleh anak. Dan, bisa jadi suatu ketika anak akan menggunakannya. Atau menuliskannya.
Kedua, selain menjaga omongan kita (selaku Ayah dan Ibu), kita juga harus mengawasi orang-orang yang ada di sekitar anak kita. Kalau omongannya cenderung kasar / tidak senonoh, memang anak harus kita jauhkan dari mereka. Karena anak (kecil) belum bisa membedakan kata-kata yang sopan dan tidak sopan. Anak (kecil) baru bisa menirukan. Bahkan, artinya pun (mungkin) mereka tidak tahu.
Adik ipar saya pernah memberhentikan pembantu rumah tangganya. Bukan karena pembantu ini malas bekerja. Tetapi karena pembantu ini kasar bicaranya. Dan, kata-kata kasar ini ada gejala mulai menular ke anak. Karena pembantu rumah tangga ini sudah diberitahu, ternyata tidak juga bisa berubah, maka terpaksa diberhentikan.
Ketiga, kita memang harus mengawasi barang-barang kita, supaya tidak disalahgunakan anak. Contohnya handphone. Boleh-boleh saja kita mengajari anak menggunakan / bermain dengan handphone kita. Tetapi kita memang harus bisa mengawasi. Atau, menyimpannya baik-baik. Ada baiknya anak tidak kita biarkan bermain dengan handphone tanpa pengawasan kita. Selain handphone bisa rusak secara tidak sengaja, juga mengantisipasi keisengan anak yang tidak kita inginkan. Dalam cerita nyata di atas, anak menggunakan handphone orang tuanya untuk menulis kata-kata kasar / tidak senonoh. Selain itu, saya juga punya kenalan (dalam hal ini Bapak-Bapak) yang biasa menyimpan foto atau film porno dalam handphone-nya. Saya tidak mengatakan hal ini boleh atau tidak boleh. Tetapi yang jelas, hal itu melanggar nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi dan Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Ancaman pidana penjara 6 tahun dan denda Rp 1 milyar. Selain, tentu saja, berbahaya kalau sampai "terlihat" oleh anak. Dalam tulisan ini, kita harus merenung, apakah alat-alat canggih ini memang sudah kita gunakan dengan benar, termasuk tidak menyimpan gambar / film porno. Sebab, kalau suatu ketika anak kita diam-diam "membukanya" (dan anak menemukan gambar / film porno), bisa jadi runyam . Selain moral anak jadi rusak, citra kita sebagai orang tua di mata anak juga menjadi jelek, sehingga nasehat-nasehat yang kita berikan akan sulit diterima oleh anak.
--------------------
Selamat menemani anak.
Selamat menemani anak dengan penuh kasih dan sopan santun.
Selamat memberikan contoh berkata-kata yang baik kepada anak.
Selamat menjaga anak supaya jauh dari orang-orang yang berkata-kata tidak senonoh.
Selamat mengisi dan menggunakan handphone kita (juga tablet, notebook, komputer, dan sejenisnya) dengan hal-hal yang sopan dan baik-baik saja.
"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".
-----o0o-----
- Foto dan disain foto oleh B. Agatha Adi K, 2007 (saat itu usia 8 tahun).
- Tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph, Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Sarjana di bidang Ilmu Sosial, Magister Manajemen di bidang Marketing.