Kamis, 19 Juli 2012

MEMBERI CONTOH KEPADA ANAK : MENYELESAIKAN MASALAH DENGAN DALIL HUKUM DAN KEPALA DINGIN

Memberikan contoh kepada anak tentang menyelesaikan masalah dengan "kepala dingin" dan berdasarkan hukum yang melindungi hak warganegara akan membuat anak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang akan dibawanya sampai saat dewasa nanti.

------------------------------------------------

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Saya pernah membaca semboyan seorang pendidik yang juga seorang rohaniwan : EDUCATIO PUERORUM EST REFORMATIO MUNDI. 

Yang artinya : MENDIDIK ORANG MUDA ITU ME-REFORMASI DUNIA. 
Tentu saja, maksudnya "supaya dunia menjadi lebih baik".

Selain itu, ada pepatah di bidang Psikologi yang bunyinya : 
A CHILD IS THE FATHER OF A MAN. 
(Menurut saya, seharusnya di-tambah-i : 
OR THE MOTHER OF A WOMAN).

Kedua kalimat tersebut mengatakan hal yang sama : 
BETAPA PENTINGNYA "MASA KANAK-KANAK" ITU.

Atau, dalam "bahasa" Blog Holiparent : 
MENEMANI ANAK = MENCERDASKAN BANGSA !

--------------------

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Salah satu hal yang memprihatinkan kita sekarang ini adalah KORUPSI yang (ternyata) ada di mana-mana. Banyak yang sudah ditangkap, disidangkan, kemudian dipenjara.

Menurut Guru Bahasa Indonesia saya dulu, istilah PENJARA  berasal dari kata PENJERA. Yang artinya MEMBUAT JERA.

Tetapi istilah ini sekarang resminya sudah tidak ada. Namanya diganti dengan LEMBAGA PEMASYARAKATAN. Disingkat LP. 

Konon katanya, istilah baru ini dimaksudkan supaya orang yang "dimasukkan" (= dihukum) di sini, nantinya setelah "keluar" selesai menjalani masa hukumannya sudah SIAP HIDUP BER-MASYARAKAT. 

Istilah PENJARA konon katanya sudah kurang cocok untuk digunakan.

Secara pribadi, saya TIDAK BISA PAHAM DENGAN ARGUMEN INI. Bukan karena istilah PENJARA lebih cocok atau lebih tidak cocok dibandingkan istilah LEMBAGA PEMASYARAKATAN. 

Tetapi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan semua Undang-Undang lainnya, memang masih disebutkan kata-kata ANCAMAN PIDANA PENJARA, bukan ANCAMAN PIDANA LEMBAGA PEMSYARAKATAN. 

Saya sendiri heran, kenapa dulu ketika masih kuliah di Fakultas Hukum, saya "lupa" menanyakan hal ini kepada para dosen saya yang bergelar Master, Doktor, bahkan Profesor).

Kembali ke masalah berita korupsi yang (ternyata) ada di mana-mana. 

Saya berpikir, SEBERAPA BESAR "SUMBANGAN" pengalaman masa kanak-kanak seseorang terhadap perilaku ber-korupsi-ria ketika dia sudah menjadi dewasa.

Tentu saja, tidak 100% perilaku ber-korupsi-ria itu ditentukan oleh masa kanak-kanak seseorang. Karena (menurut Psikologi), HIDUP ITU SUATU KONTINUM. 
Artinya, pengalaman masa bayi itu juga ada pengaruhnya pada masa kanak-kanak. 
Pengalaman masa kanak-kanak itu juga ada pengaruhnya pada masa remaja. 
Pengalaman masa remaja itu juga ada pengaruhnya pada masa dewasa. 
Dan pengalaman masa dewasa itu juga ada pengaruhnya pada masa tua seseorang. 

Jadi, sekali lagi, tidak berarti bahwa pengalaman masa kanak-kanak berperan 100% atas perilaku ber-korupsi-ria ketika seseorang sudah dewasa. Tetapi dengan logika yang sama, pengalaman masa kanak-kanak juga bukan berarti tidak memberikan kontribusi pada perilaku ber-korupsi-ria ini.

Apakah hal ini berarti bahwa masa kanak-kanak sudah harus mulai dikenalkan dengan ilmu hukum ? Supaya anak sudah punya pengalaman sadar hukum (tentu mulai dari hal sederhana) untuk "menata" perilakunya supaya tidak merugikan orang lain.
--------------------

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Saya pribadi merasa gembira ketika mengetahui bahwa pada saat kelas 1 SMP anak saya mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah) yang "menyangkut" Hukum Perdata dan Hukum Pidana. 

Waktu itu, anak saya bertanya ini - itu kepada saya (untuk mengerjakan PR-nya). Bahkan, dia juga membuka-buka koleksi buku hukum saya.

Dalam pandangan saya, ini adalah suatu langkah yang baik : 
SEJAK KECIL, ANAK SUDAH DI-AJAR-I TENTANG PENGETAHUAN HUKUM. Tentu saja, dengan TAHU hukum,  diharapkan dia akan menjadi SADAR (TAAT HUKUM).

--------------------

Suatu ketika, saya membeli kamera digital. Saya memang tidak tahu banyak tentang harga dan jenis kamera digital. Tetapi saya sudah bertanya-tanya kepada teman yang senang fotografi. Jadinya, saya sudah tahu dan menetapkan pilihan : akan membeli kamera jenis tertentu dengan harga sekian.

Kemudian, suatu malam sekitar pukul 19.00 WIB, saya, anak, dan istri pergi ke salah satu toko kamera. Kamera yang mau saya beli ada, harganya pun cocok. Sekitar Rp 7 jutaan.

Tetapi, pada saat barang akan dibungkus, tiba-tiba saja penjualnya melancarkan bujuk rayu kepada saya untuk membeli kamera lain dengan kemampuan yang "jauh lebih canggih".

Saya tidak kenal kamera dengan merek dan tipe ini. Sejak berangkat dari rumah, saya mencari kamera "jenis SLR". Dan saya tidak tahu pasti "kamera ini SLR atau tidak". (Terus terang saja, saya tidak ahli dalam hal ini).

Ketika penjualnya saya tanya, dia menjawab, "Ya. Ini SLR".

Ketika saya tanyakan harganya, penjualnya menyebutkan angka Rp 500.000 lebih mahal. Setelah sedikit tawar-menawar, akhirnya saya membeli "kamera yang tidak saya kenal tapi menurut penjualnya lebih canggih" ini dengan harga Rp 7 jutaan juga, tapi lebih mahal Rp 150.000 dari yang tadinya sudah mau saya beli tadi.

Pembelian ini terjadi pada malam hari, sekitar pk. 21.00 WIB.

--------------------

Pagi harinya, seperti biasa saya buka-buka internet. Saya mencari tulisan tentang kamera yang semalam saya beli.

Saya kaget ! Harganya hanya berkisar Rp 3 juta sampai Rp 3,5 jutaan ! Padahal, saya membelinya seharga Rp 7 jutaan.

Saya hubungi teman-teman yang hobi fotografi pagi hari itu. Mereka ternyata tidak familiar dengan kamera yang saya beli. Mereka bilang, itu bukan kamera SLR ! Padahal, penjualnya tadi malam bilang bahwa ini kamera digital SLR. Wah, saya kena tipu !

--------------------

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Tentu saja saya jengkel. Saya marah karena merasa sudah ditipu. Tetapi memang saya berusaha mencari pemecahan terbaik.

Maka, saya buka buku-buku semasa masih kuliah di Fakultas Hukum dulu. Saya masih ingat di luar kepala bahwa dalam posisi seperti ini, saya dilindungi oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Tetapi saya harus MEMASTIKAN bahwa penjual telah bertindak secara melawan hukum terkait pasal yang mana saja. SAYA TIDAK BOLEH GEGABAH. 

Lagipula, saya ditipu. Artinya, penjualnya sudah melakukan tindak pidana penipuan.

Nah, kesempatan YANG MENYEDIHKAN ini juga saya gunakan untuk MENGAJAK ANAK SAYA mengetahui KEGUNAAN HUKUM SECARA PRAKTIS yaitu untuk melindungi warga negaranya. 

Jadi, sekalipun kita MARAH, kita tetap harus ILMIAH. Akhirnya, ya memang tidak jadi marah. Tetapi komplain tetap jalan terus. Dengan KEPALA DINGIN.

Saya membuka Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Biasa disebut UU PERLINDUNGAN KONSUMEN.

Saya dapati bahwa pasal 10 UU ini mengatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan / atau jasa.....dilarang menawarkan.....yang tidak benar atau menyesatkan mengenai harga atau tarif suatu barang dan / atau jasa. 

Atas hal ini, pelaku usaha dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2 milyar.

Bahkan, dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) pasal 378 tentang PERBUATAN CURANG dikatakan bahwa barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.....dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya.....diancam karena PENIPUAN dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.

--------------------

Singkat kata, saya siang harinya datang lagi ke toko itu. Membeberkan fakta-fakta yang ada. MENGEMBALIKAN KAMERA YANG SEMALAM SAYA BELI. MENUNTUT PENGEMBALIAN UANG SAYA SEPENUHNYA. Dan kemudian MEMBELI KAMERA YANG SEMULA MEMANG SUDAH MAU SAYA BELI DENGAN HARGA YANG SEMALAM SUDAH DISEPAKATI (sebelum saya akhirnya membeli kamera lain karena kena bujuk rayu penjual ini).

Saya memang bertujuan membeli kamera, bukan cari ribut atau "menang-menangan" dalam kasus ini. Sehingga ketika penjual memenuhi tuntutan saya (karena sudah tahu risiko dan ancaman hukumnya), maka masalahnya sudah selesai dengan baik  "secara kekeluargaan" saat itu juga.

------------------------

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Apa yang saya ceritakan di atas adalah kisah nyata.

Tentu saja, saya tidak berharap Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak mengalami hal seperti itu. Tetapi apabila suatu ketika kita mengalami hal yang tidak dikehendaki seperi ini, kita harus dapat menggunakan kejadian itu sebagai kesempatan untuk meng-ajar-i anak tentang menyelesaikan masalah "dengan kepala dingin" dan menggunakan Undang-Undang yang berlaku (yang melindungi kita).

Semoga dengan demikian, anak-anak kita juga akan terbiasa untuk selalu berpikir dan bertindak dengan "kepala dingin" dan berdasarkan hukum, sehingga masalah bisa selesai dengan baik dan juga tidak justru terjerat masalah hukum (dikarenakan ketidaktahuan di bidang hukum).

Sebab, apa yang dipelajari dan dialami anak, nantinya juga akan berpengaruh di saat dia dewasa.

--------------------

Selamat menemani anak.

Selamat menemani anak dan memberikan contoh nyata (pengalaman) bagaimana menyelesaikan masalah dengan "kepala dingin" dan menggunakan dasar hukum.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----o0o-----

  • Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Sarjana di bidang Ilmu Sosial.