Selasa, 12 Juni 2012

(Jangan) Dekat di Mata, Jauh di Hati

Ada banyak musisi yang main musik di warung-warung makan. Di Semarang. Juga di kota-kota lainnya : Salatiga, Boyolali, dan lain-lain. 

Foto di atas diambil di "Warung Soto Neon" di Semarang, malam hari, sekitar pk 20.00 WIB. 

Juga foto di bawah ini. Mereka ini main musik keroncong dalam satu group. Berempat.





--------------------
 
Pada saat makan bersama anak, dan kebetulan ada musisi yang main musik seperti ini, merupakan kesempatan yang sangat baik untuk mengajak anak mengapresiasi seni (dalam hal ini seni musik). 

Selain itu, anak juga kita temani untuk memperhatikan lingkungan sekitarnya. Dalam hal ini, mereka yang bermain musik ini.

Kenapa mereka bermain musik di warung soto ? 
Berapa penghasilan mereka ? 
Kalau mereka mahir main musik, kenapa tidak main di tivi ? 
Selain main musik di warung soto, mereka main di mana lagi ? 

Pertanyaan-pertanyaan ini bisa kita diskusikan dengan anak sambil makan soto. Sambil mendengarkan alunan musik mereka. 

Dan, bisa juga anak lalu (kita dukung untuk) bertanya kepada mereka, entah untuk laporan jurnalistik di sekolah, entah untuk menulis cerpen, entah untuk menulis puisi. 

Ada kepekaan sosial dalam diri anak yang bisa lahir dari hal-hal seperti ini. 

Kalaupun anak sedang makan soto, dan di sekitarnya ada pemain musik, setidaknya dia juga tidak hanya (tetap) peduli dengan semangkuk sotonya saja.

--------------------

Ada cerita yang lain. 

Suatu malam, saya dan istri sedang makan Mie Jowo di warung di dekat rumah. Satu meja dengan saya, ada seorang bapak, seorang ibu, seorang anak (usia SMP atau SMA). 

Apa yang membuat saya tertarik kepada mereka ?

Sang Ibu asyik mainan handphone-nya. Sang Bapak asyik mainan handphone-nya. Sang Anak juga asyik mainan handphone-nya. 

Itu ketika menunggu mie pesanan mereka sedang dimasak. 

Dan ketika mie mereka sudah  dihidangkan, Sang Ibu (masih) asyik mainan handphone. Sang Bapak juga. Sang Anak juga. Luar biasa. 

Saya tidak mengatakan bahwa mereka tidak peduli pada lingkungan sekitar. Tidak. 

Tetapi saya sungguh-sungguh tertarik bahwa masing-masing dari mereka lebih akrab dengan handphone-nya.  

Bisa jadi, itu disebabkan  setiap saat (selain waktu makan malam seperti ini) sebenarnya mereka (selalu) sudah  akrab satu sama lain. Sehingga ketika saya sedang melihat (hanya sesaat saja di warung mie ini), mereka sedang meluangkan waktu barang sejenak untuk ber-akrab-ria dengan handphone masing-masing. 

Atau, bisa jadi, karena mereka satu sama lain (sebenarnya) memang selama ini lebih akrab dengan handphone masing-masing, sehingga (bahkan) tidak sempat saling memperhatikan, meskipun ketika makan malam bersama.....

Wah, saya tidak tahu. 

Seperti sudah saya katakan di depan, saya hanya merasa tertarik dengan fenomena ini : duduk bersama satu meja, tetap tidak saling memperhatikan. Dekat di mata, jauh di hati, begitu kira-kira pepatah yang pas untuk mereka. (Waktu saya SD dulu, Guru saya bilang, ada pepatah jauh di mata, dekat di hati. Bukan dekat di mata, jauh di hati)

Sayangnya, memang saya tidak berani memotret keluarga yang menarik ini. Tidak sopan. Dan takut kena damprat.

--------------------

Selamat menemani anak. 
Untuk peka pada lingkungan sekitar.
Untuk memperhatikan. Dan mengapresiasi.
Bahkan ketika sedang di warung soto atau di tempat lain.
(Dan bukan hanya selalu peduli dengan handphone-nya saja).
Selamat menemani anak dalam memupuk kepekaan sosial pada (lingkungan) sekitarnya.
Jangan sampai dekat di mata, jauh di hati. 

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".    

 -----o0o-----

  • Tulisan dan foto oleh Constantinus. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12C-0922. Penulis fiksi dan non fiksi di berbagai media massa.