Senin, 25 Juni 2012

JANGAN MARAH KALAU DI-TIRU-KAN ANAK

Setiap kali tulisan saya dimuat di media massa (koran atau majalah), anak saya selalu ikut membaca dengan seksama. Bukan hanya isi tulisan itu, tetapi juga gaya penulisannya. Dan sebagai hasilnya, anak saya juga suka menulis, suka mengirimkan tulisannya (di majalah sekolahnya), dan berkali-kali dapat honorarium dari tulisan-tulisannya yang dimuat.
Anak meniru orang tuanya !

Anak meniru apa yang dilakukan orang tuanya. Apalagi kalau orang tua itu menjadi idola bagi anak. Maka, orang tua harus berhati-hati dalam berbicara, bersikap, berperilaku, karena itu semua akan ditiru oleh anak.

Saya tidak bermaksud melarang semua orang di dunia ini merokok. Saya hanya menceritakan pengalaman saya pribadi. 

Dulu, saya seorang perokok. Ketika SMA saya merokok. Apalagi, SMA saya (saat itu) mengijinkan siswa merokok di sekolah, asalkan tidak pada saat jam pelajaran sekolah (termasuk dilarang merokok ketika jam istirahat). Jadi, pada saat pulang sekolah, saya langsung menyalakan rokok (meskipun masih di lingkungan sekolah). Juga pada saat kegiatan sore di sekolah, saya biasa merokok, karena memang tidak dilarang. (Saya waktu itu sekolah di SMA Kolese Loyola Semarang tahun 1986-1989. Sekolah ini juga mengijinkan murid putra berambut gondrong, dan sekolah pakai kaos plus celana jeans dan sepatu sandal. Seragam sekolah hanya dipakai di hari Senin dan setiap tanggal 17 saja. Tapi sekarang peraturannya mungkin sudah berubah).

Beruntung, setelah lulus dari Jurusan Fisika di SMA Kolese Loyola Semarang, saya kuliah di Jurusan Perikanan Universitas Diponegoro. Banyak praktikum di laut (di Laboratorium Pengembangan Wilayah Pantai - LPWP - di Pantai Kartini Jepara). Namanya juga mahasiswa Perikanan, pada saat praktikum di atas kapal, rokok menjadi teman setia. Apalagi "kumpulnya" dengan para nelayan yang rata-rata perokok berat.

Setelah lulus, saya beruntung lagi. Saya diterima bekerja di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Orang menyebutnya Bank BNI 1946. Saya beruntung sekali bekerja di Departemen Luar Negeri dan Ekspor-Impor. Rekan senior saya waktu itu namanya Bang Nasti Effendi. Beliau seorang perokok berat. Atasan kami namanya Pak Budi Hartono. Beliau juga seorang perokok berat. Waktu itu, sambil bekerja di ruangan ataupun melayani nasabah, karyawan bank masih boleh merokok (tahun 1995-an). Saya yakin sekarang sudah tidak boleh lagi. Zaman sudah berubah. Ruangan sudah serba AC. Dan nasabah pasti akan komplain kalau dilayani oleh petugas bank sambil merokok.

--------------------

Jadi, saya memang seorang perokok. Dan saya beruntung selalu dapat tempat sekolah, kuliah, kerja yang mendukung kegemaran merokok saya.

Sampailah saya punya anak. Saat itu istri saya bilang ke saya, bahwa asap rokok tidak baik untuk anak. Maka, saya mulai tidak merokok ketika sedang di rumah.

Lalu, anak saya beranjak besar. Apapun yang saya lakukan, ditirunya. Misalnya, saya memang gemar menulis dengan mesin ketik (manual) atau dengan komputer (karena saya memang seorang penulis). Anak saya juga ikut mengetik di sebelah saya. (Kebetulan kami punya dua mesin ketik manual dan dua notebook).

Jadi, anak saya menirukan apa saja yang saya lakukan. Juga gaya saya yang selalu memakai topi. Saya suka bergaya nyentrik ala seniman, anak saya juga.



Saya biasa memakai topi (gambar atas). 
Anak saya juga jadi biasa memakai topi (gambar bawah)

 
Nah, saya jadi merenung. Kalau saya merokok, bagaimana kalau anak saya ikut-ikutan merokok ?  Karena, saya memang berharap anak saya tidak merokok. (Saya tidak mengatakan bahwa merokok itu tidak baik. Saya hanya ingin anak saya tidak merokok saja. Titik).

Tentu saja, saya bisa saja tetap merokok sambil berkata kepada anak saya bahwa "merokok itu untuk laki-laki. Karena kamu perempuan, maka kamu jangan merokok". Tetapi saya yakin, anak saya tidak akan dapat menerima alasan ini. Sebab alasan seperti itu (buat saya sendiri pun) memang tidak masuk akal.

Maka, daripada pusing, saya berhenti saja merokok. Habis perkara. (NB : Saya tetap menghormati orang yang merokok. Banyak teman saya yang perokok. Dan saya tidak pernah menganjurkan mereka untuk berhenti merokok. Menganjurkan untuk terus merokok juga tidak. Saya netral saja).

--------------------

Sharing yang disampaikan dalam tulisan kali ini adalah anak itu meniru orang tuanya. Maka orang tuanya harus melakukan hal-hal yang dikehendaki oleh orang tua supaya dilakukan oleh anaknya.

Bukan hanya merokok. Menonton televisi juga. Kalau orang tua menghendaki supaya anaknya tidak banyak menonton sinetron di televisi, maka orang tuanya harus melakukan hal itu terlebih dahulu. Sehingga kalau anaknya tetap menonton sinetron televisi (misalnya), orang tua dapat menegur anak dan anak melihat bahwa orang tua memang konsisten dengan apa yang dikatakannya. 

-------------------- 
Saya tidak pernah mengarahkan apalagi menyuruh anak saya menjadi MC (Master of Ceremony). Tetapi dalam suatu acara pentas di sekolahnya (SD PL Bernardus Semarang waktu itu), anak saya menjadi MC bersama dengan teman-teman sekolahnya selama lebih dari 4 jam non stop (lengkap dengan topi yang menjadi ciri khasnya).

Bisa jadi, hal ini terjadi karena saya biasa mengajak anak saya ke tempat training pada saya memberikan training di hotel-hotel untuk berbagai perusahaan. Dari pengalaman-pengalaman itu, dalam diri anak timbul rasa percaya diri dan juga keinginan untuk bisa tampil di depan banyak orang ( = menjadi MC). 

Sekali lagi, anak menirukan orang tuanya.

Kalau orang tua bilang "anak saya pemalu", orang tua harus merenungkan dirinya sendiri "apakah saya bukan pemalu" ? 

Yohan (berkaos hitam, di kiri), Agatha (anak saya, berjas merah, di tengah), dan Tobi (di sebelah kanan, berbaju merah) sedang menjadi MC di salah satu kegiatan SD PL Bernardus Semarang. Mereka bertiga berani tampil seperti ini tentunya setelah melalui suatu proses. Dan orang tua sangat besar peranannya ( = menjadi contoh) dalam memupuk rasa percaya diri anak untuk tampil di panggung seperti ini.

--------------------

Belajar dari pengalaman tersebut di atas, kita sebagai orang tua sudah saatnya mengintrospeksi diri. Kalau anak kita bicaranya kasar, apakah kita sebagai orang tua bicaranya sudah lemah lembut ? Kalau anak kita kurang sopan, apakah kita sebagai orang tuanya sudah santun dalam kehidupan sehari-hari ? Kalau anak kita kurang rajin, apakah kita sebagai orang tuanya memang sudah memberikan contoh sebagai orang yang rajin ?

Dari berbagai diskusi saya dengan banyak orang tua dan guru-guru di berbagai sekolah, anak seringkali mengalami kebingungan karena apa yang diajarkan oleh guru-gurunya di sekolah ternyata bertentangan dengan apa yang dilakukan (= dicontohkan) orang tuanya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal seperti ini, terbukti bahwa contoh dari orang tua ternyata lebih kuat pengaruhnya untuk ditiru oleh anak-anak. Misalnya, guru di sekolah mengajarkan untuk berbicara dengan santun, sedangkan orang tua ternyata biasa bicara keras-keras bahkan sambil membentak, maka anak akan ikut bicara keras dan membentak.

--------------------

Selamat menemani anak.
Selamat menjadi contoh (yang baik) bagi anak.
"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".


-----o0o-----

  • Foto dan tulisan oleh Constantinus, kecuali foto Constantinus oleh B. Agatha Adi K.
  • Constantinus adalah Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12C-0922.