Foto di Tahun 2015
Salah satu penyebab dari dibuatnya tulisan ini adalah masih banyaknya masyarakat umum yang melihat bahwa karate tidak ada gunanya untuk masa depan. Maksudnya, karate tidak berguna untuk mencari, mendapatkan, dan mempertahankan / meniti karir di tempat kerja. Hal ini merupakan kenyataan, karena selama ini (setidaknya sejak saya dan istri saya mulai berlatih karate di tahun 1989 (di dua aliran karate yang berbeda)), yang diajarkan memang karate sebagai olah raga prestasi saja (dalam arti : untuk ikut pertandingan kata (jurus) atau kumite (fighting)), dan tidak banyak (atau bahkan tidak pernah) disinggung tentang karate sebagai sarana untuk membangun / meningkatkan rasa percaya diri, bersikap antisipatif, dan berkomunikasi, yang sangat diperlukan sebagai soft competency di tempat kerja.
Penyebab lain dari dibuatnya tulisan ini adalah masih banyaknya orang tua yang khawatir kalau anak perempuannya ikut latihan karate : apakah anak perempuannya bisa tetap feminim.
* * * * *
Foto di Tahun 2007
APAKAH KARATE COCOK UNTUK ANAK PEREMPUAN SAYA ? Ini pertanyaan yang diajukan (dengan nada khawatir) oleh para ibu maupun bapak kepada saya. Mengapa pertanyaan ini diajukan ? Ada beberapa sebab yang saya ketahui berdasarkan perbincangan saya dengan ibu-ibu maupun bapak-bapak yang punya anak perempuan (kebetulan anak saya juga perempuan, jadi mudah bagi saya untuk menjawabnya).
Foto di Tahun 2015
Pertama, kekhawatiran bahwa anak perempuan yang ikut karate akan menjadi "tomboy" atau "kelaki-lakian". Faktanya, istri saya yang berlatih sejak tahun 1989 (sejak berusia 19 tahun) sama sekali tidak "tomboy" / tidak "kelaki-lakian". Faktanya juga, anak perempuan saya yang berlatih sejak tahun 2007 (sejak berusia 8 tahun) juga tidak "tomboy" / tidak "kelaki-lakian". Rambut istri dan anak saya panjangnya sebahu lebih (dan umumnya praktisi karate (karateka) perempuan juga memiliki rambut yang panjang sebahu lebih; saat berlatih, biasanya rambutnya diikat dengan karet sehingga tidak mengganggu latihan).
Foto di Tahun 2015
Kedua, kekhawatiran bahwa anak perempuan yang berlatih karate akan memiliki badan yang "besar berotot" seperti laki-laki. Faktanya, istri dan anak perempuan saya (dan juga para praktisi karate (karateka) perempuan lainnya) tetap berbadan normal. Sebab, karate bukanlah kegiatan yang membentuk otot. Orang yang berlatih karate belajar tentang kelenturan tubuh dan kecepatan gerakan yang berguna untuk mendapatkan power yang tepat sasaran. Masih banyak orang yang belum mengerti tentang hal ini.
Foto di Tahun 2015
Semoga dengan adanya tulisan ini, maka kekhawatiran ibu-ibu dan bapak-bapak yang ingin mengikutsertakan anak perempuannya dalam latihan karate dapat terjawab dengan baik.
Selamat menemani anak.
"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".
-----oOo-----
Tulisan dan foto oleh Constantinus J. Joseph, Susana Adi Astuti, dan Bernardine Agatha Adi Konstantia.
Constantinus adalah praktisi karate, praktisi psikologi industri, anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), dan anggota Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO). Susana adalah praktisi karate dan karyawati perusahaan. Agatha adalah praktisi karate dan murid SMA.