Libur bersama
Lebaran kali ini saya isi dengan bersepeda bersama Agatha anak saya dan Usie
istri saya. Sambil bersepeda, saya bisa bercerita tentang banyak hal kepada
anak saya, dan berharap semoga cerita-cerita ini menjadi bekal baginya dalam
bekerja dalam tim, entah di sekolah, entah di tempat kerjanya kelak (pada saat
dia sudah bekerja). Salah satunya adalah cerita tentang ini :
Tiba-tiba
saja ada seorang calon komisaris (belum diangkat secara resmi sebagai komisaris) di salah satu perusahaan (salah satu perusahaan di antara banyak perusahaan) di mana saya selama ini
menjadi konsultan perusahaan tersebut.
"Wah,
beliau itu sukanya melontarkan gagasan tanpa bisa menjelaskan detailnya, Pak. Juga sudah
terbukti kalau ada masalah, beliau itu pasti melarikan diri dan cuci tangan,
menyuruh orang lain untuk menyelesaikannya. Parah, Pak," kata seorang
direktur di perusahaan itu.
"Beliau
membanggakan diri bisa memberikan pelatihan ini dan itu, Pak. Padahal itu bukan
karya ciptaan beliau. Beliau hanya tahu kulitnya saja," kata direktur yang
satunya lagi.
"Menurut
pengamatan saya, beliau itu malah belajar dan cari ilmu di perusahaan ini.
Nanti kalau sudah komplit, ilmu dari sini dijual di perusahaan lain. 'Kan dia di
perusahaan ini juga begitu, Pak. Menjual ilmu dari perusahaan tempat beliau
kerja sebelumnya," kali ini yang berkata adalah salah satu manajer senior
di perusahaan itu.
Saya diam
dan menyimak baik-baik. Tidak memberikan komentar yang sifatnya justru
akan memprovokasi mereka. Saya memang harus mengendalikan diri untuk tidak
berkomentar seperti itu. Padahal, saya juga sudah kena getahnya. Dalam
salah satu kejadian, calon komisaris baru itu (yang berkali-kali bilang punya
relasi wartawan ini itu) diberi tanggung jawab oleh pemegang saham pengendali / pemilik perusahaan untuk menjadi ketua tim
pengarah bagi direksi perusahaan itu guna membuat "press release" di media massa. "Press release" tersebut tentang perusahaan itu yang mendapat predikat terbaik tingkat nasional.
Ternyata "press release" yang dibuat sesuai arahan calon komisaris ini dinilai oleh pemegang saham pengendali (pemilik
perusahaan) sangat tidak memenuhi standar (ini bukan salah direksi, karena si
calon komisaris ini sudah langsung mengetik "press release" itu). Saya yang
selama ini menjadi konsultan perusahaan itu di bidang psikologi industri &
komunikasi (sudah sejak 10 tahun yang lalu) dimintai tolong oleh pemilik
perusahaan dan direksi untuk memperbaiki kata-kata / kalimat "press release" tersebut
(dalam kenyataannya : saya ganti total). Bahkan saya juga dimintai tolong untuk menghubungi relasi wartawan yang saya punya dalam rangka pemuatan
"press release itu". Padahal, sebenarnya semua ini adalah merupakan tugas &
tanggung jawab calon komisaris baru tersebut. Pekerjaan mengurus press release
ini bukan lingkup saya. Saya sih mau saja membantu, karena perusahaan ini adalah klien saya selama 10 tahun. Yang membuat saya agak heran, calon komisaris baru ini (yang pekerjaannya saya bantu) bukannya ikut terlibat (sekaligus belajar) tetapi malah berusaha cuci tangan / lepas tanggung jawab. (Perlu diketahui, pada saat saya dimintai bantuan seperti ini oleh pemilik perusahaan maupun direksi perusahaan itu, saya tidak meminta bayaran di muka. Bagi saya, rejeki itu mengalir saja).
Ibu-Ibu dan
Bapak-Bapak Yth.,
Kali ini,
apa yang dapat kita jadikan bahan cerita untuk menemani anak ? Pertama, hidup /
bekerja itu harus fleksibel. Kedua, jangan jadi provokator.
Terkait
dengan kisah nyata tersebut di atas, saya tetap menjalankan pesanan khusus
(permintaan bantuan) untuk menangani "press release" meskipun itu bukan lingkup pekerjaan saya. Tentu
saja, itu memang tidak gratis. Saya tetap meminta penghargaan tertentu untuk itu, meskipun saya menyampaikannya secara langsung / vulgar di muka. Tetapi yang pasti, saya tidak menolak untuk melakukan apa yang sebenarnya
(pada mulanya) bukan merupakan tugas dan tanggung jawab saya, asalkan itu
memang sesuai dengan keahlian saya (psikologi industri & komunikasi).
Sekali lagi, saya bersikap fleksibel, meskipun juga bukan gratisan.
Kedua, saya
tidak menjadi provokator. Dari cerita-cerita yang saya dengar dari direksi juga
manajer perusahaan tersebut, sudah terlihat bahwa calon komisaris itu tidak
disukai oleh mereka. Meskipun sebenarnya saya juga tidak merasa cocok dengan
beliau, saya tidak mengatakan itu di depan direksi dan manajer yang membuat
mereka semakin menjadi-jadi. Bagaimanapun, saya adalah konsultan yang harus
pandai menjaga diri. Faktanya, calon komisaris ini direkrut oleh pemegang saham
pengendali / pemilik perusahaan sendiri. Saya tidak boleh menjadi faktor yang
mempertajam perpecahan yang sudah mulai muncul di antara calon komisaris di satu pihak dengan
direksi dan manajer di lain pihak. Bahkan, sedapat mungkin, saya mendukung mereka untuk
bersatu (karena pemegang saham pengendali / pemilik perusahaan menghendaki
begitu).
Ibu-Ibu dan
Bapak-Bapak Yth.,
Apabila
anak kita sudah duduk di bangku SMP atau SMA, apalagi kalau anak kita mulai
berkegiatan kelompok di sekolahnya, entah OSIS, entah Tim Jurnalistik, entah
pengurus kelas, atau masih banyak lagi, maka cerita-cerita seperti di atas
sudah dapat dijadikan bahan obrolan bersama anak. Intinya adalah ini : (1)
Keahlian / kemampuan teknis dalam bidang tertentu itu sangat penting untuk
berkegiatan / bekerja dalam tim. (2) Keahlian / kemampuan untuk bekerja sama
dengan orang lain itu juga sangat penting, dan ini erat kaitannya dengan
kepribadian (pribadi yang dapat diterima dengan mudah oleh orang lain / teman
kerja satu tim adalah pribadi yang tidak cari muka & tidak cari selamat
sendiri, tetapi adalah pribadi yang tangguh & rela berkorban).
Memang, apa
yang tertulis pada nomor (2) itu sekarang ini bisa jadi terdengar aneh.
"Haruskah rela berkorban ?"
Dari
pengalaman sehari-hari, memang begitulah faktanya. Pribadi yang tangguh dan
rela berkorban-lah yang dibutuhkan dalam kerja sama tim. Lalu, bagaimana dengan
istilah "tidak gratisan" alias ada imbalannya ?
Ya, imbalan
itu pasti ada. Entah itu berupa uang. Entah itu berupa pengalaman berharga.
Entah itu berupa banyak teman / relasi. Entah itu berupa reputasi / nama baik.
Bahkan, bisa juga berupa kombinasi dari hal-hal tetsebut.
Selamat
menemani anak.
"Menemani
Anak = Mencerdaskan Bangsa"
-----o0o-----