Rabu, 17 April 2013

MENGENALKAN "REALITA ORANG" KEPADA ANAK

Ibarat cabai, meskipun sama-sama cabai, tetap saja ada variasinya : warnanya, ukurannya, rasa pedasnya. Ada baiknya orang tua menemani anak dalam hal ini : bahwa orang itu bermacam-macam, tidak semuanya baik, juga tidak semuanya jelek; dan tidak ada yang 100% baik pula tidak ada yang 100% jelek. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri. Dengan demikian, anak sudah belajar tentang "bagaimana" menghadapi realita bahwa orang itu memang bermacam-macam.


Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,
Malu rasanya, sudah hampir sebulan saya tidak men-sharing-kan apapun dalam blog inspirasi pendidikan kreatif ini. Ada sekian banyak alasan, tetapi alasan tetaplah alasan. Jadi, tidak layak saya uraikan di sini.

Hari-hari dalam satu bulan terakhir ini saya beberapa kali ngobrol ringan dengan anak saya semata wayang yang duduk di kelas VIII (SMP Kelas II). Intinya, saya sedang ada kasus yang harus ditangani di tempat kerja. Ada dua orang pimpinan perusahaan yang bersekongkol sehingga membuat perusahaan dalam kondisi bahaya : bisa rugi, bisa tutup karena bangkrut.

Tentu saja, saya mengemas cerita saya secara garis besar saja, yang penting anak saya tahu bahwa perbuatan kedua orang pimpinan ini adalah TIDAK BENAR baik secara manajemen maupun secara hukum. Akibatnya, kedua orang pimpinan ini harus dicopot dari jabatannya. Padahal, kedua orang pimpinan perusahaan ini sudah menutupi perbuatannya sedemikian rupa, namun akhirnya ketahuan juga.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,
Ada kalanya kita perlu menceritakan kepada anak kita (sesuai umur mereka) bahwa memang ada orang yang berbuat CURANG. Dan bahwa kita memang harus TEGAS bertindak menghadapi orang yang seperti itu. Perlu juga dijelaskan bahwa ketika ketahuan, orang seperti itu pasti punya ALASAN PEMBENAR, tetapi kita harus tetap teguh untuk MENGUNGKAP supaya kebenaran itu dapat menjadi jelas.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,
Selain itu, kita juga harus menjelaskan kepada anak kita bahwa apa yang kita lakukan TIDAK DIDASARKAN PADA RASA BENCI kepada orang yang curang seperti itu, tetapi justru kita MENGASIHI orang itu; karena yang kita benci adalah PERBUATAN CURANGNYA, bukan orangnya. Supaya anak tidak bingung, kita jelaskan bahwa : kecurangan orang itu kita ungkap, orang itu harus menerima hukuman atas kecurangannya, tetapi apabila orang itu juga ada perbuatan baik atau dia sudah insaf, maka dia kita beri kesempatan untuk memperbaiki diri (meskipun bukan berarti dia boleh menjadi pimpinan lagi di perusahaan itu). Bisa jadi, dia tetap bekerja di perusahaan yang sama, tetapi menjadi anak buah, bukan pimpinan lagi. Atau bisa jadi dia bekerja di perusahaan lain. Kita tidak boleh selalu menceritakan kejelekannya saja. Kalau dia punya kebaikan, harus kita katakan juga secara jujur.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,
Tulisan kali ini mungkin terkesan agak muram. Memang, apa yang saya sharingkan di atas adalah kenyataan yang sedang saya alami. Bahwa kedua orang pimpinan yang bersekongkol untuk berbuat curang itu salah satunya adalah mantan anak buah saya sekitar 7 (tujuh) tahun yang lalu. Tetapi waktu berlalu, dan orang bisa berubah. Dan mantan anak buah saya itu entah bagaimana pergaulannya akhir-akhir ini, ternyata bisa sedemikian curang. Dan, saya memang memberikan penilaian yang "fair" : bahwa dia salah, bahwa dia harus menanggung hukumannya.

Semoga dengan demikian anak kita menjadi lebih dewasa dalam menilai orang lain : bahwa tidak semua orang jelek, dan bahwa tidak semua orang baik.

Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----17 April 2013-----

Tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia.