Ibu dan Bapak Yth.,
Malam ini (Minggu, 20 April 2014, sekitar pk. 19.30-an) saya
ngobrol dengan Agatha, anak saya semata wayang, tentang Ijazah Asli tapi Palsu.
Obrolan kami ini bermula dari masalah "jangan iri kepada orang yang tidak
baik", misalnya : kepada orang yang tidak jujur (dan karena itu justru
jadi kaya raya, setidaknya selama orang seperti ini belum tertangkap Komisi
Pemberantasan Korupsi atau KPK), atau yang sempat diberitakan adanya
"oknum mahasiswa" yang diberitakan beberapa bulan lalu di berbagai
media massa : ketahuan tidak jujur (menggunakan "jasa joki" atau
peralatan canggih) ketika menjalani seleksi ujian masuk di perguruan tinggi.
Ibu dan Bapak Yth.,
Obrolan saya dengan anak kemudian berlanjut tentang
"siapa yang sebenarnya dirugikan" ketika ada orang yang tidak jujur.
Dalam obrolan kami itu, kami sampai pada kesimpulan bahwa "semua pihak
dirugikan, termasuk orang yang curang / tidak jujur itu sendiri". Lho, kok
bisa ?
Begini. Dimisalkan ada seorang "oknum" mahasiswa
yang selama kuliah selalu tidak jujur dalam arti selalu menyontek. Katakanlah
dia pada akhirnya bisa lulus kuliah. Nah, pada saat dia "masuk ke dunia
kerja", tentu dia akan mengalami kesulitan ketika harus
"menyelesaikan pekerjaan berdasarkan ilmu yang dipelajarinya selama
kuliah", karena sesungguhnya dia tidak tahu apa-apa tentang ilmu itu.
Kalau mau menyontek, mau menyontek siapa ? Mau bertanya kepada orang lain di
tempat kerja, memangnya orang lain tidak punya kerjaan dia sendiri ? Cepat atau
lambat, pasti "eks oknum mahasiswa" seperti ini akan "ketahuan
belangnya" bahwa dia selama kuliah cuma bisa menyontek, sehingga sekalipun
ijazahnyanya ASLI, sesungguhnya itu adalah PALSU karena tidak mencerminkan
KUALITAS PENGETAHUAN dari "eks oknum mahasiswa" tersebut.
(Sejujurnya, sebagai Praktisi Psikologi Industri dan Komunikasi selama 12 tahun
terakhir ini, saya sudah bertemu dengan orang-orang seperti ini).
Ibu dan Bapak Yth.,
Saya dan anak saya kemudian membahas bahwa "zaman dulu
kala, di zaman Plato masih menjalankan sekolah yang pertama di muka bumi",
para lulusannya belum ada ijazah yang kertas dan cetakannya sebagus sekarang
ini. Tetapi zaman berkembang. Untuk MEMBUKTIKAN bahwa seseorang MENGUASAI ILMU
TERTENTU, dibuatlah SELEMBAR KERTAS yang disebut ijazah SEKEDAR UNTUK
MENGINFORMASIKAN tentang pengusasaan ilmu tersebut. Jadi, yang UTAMA adalah
PENGUASAAN ILMU-NYA, sedangkan SELEMBAR KERTAS yang bernama ijazah itu adalah
URUTAN KEDUA. Tetapi sekarang memang ada "oknum mahasiswa" yang membaliknya
: yang utama adalah SELEMBAR KERTAS yang bernama ijazah (bahkan dengan
konsisten melakukan aktivitas menyontek sejak semester awal kuliah sampai
dengan lulus), meskipun PENGUASAAN ILMU-NYA tidak ada.
Ibu dan Bapak Yth.,
Dalam obrolan saya dengan Agatha malam ini, kami sampai pada
perumpamaan ini : SEANDAINYA ada ketentuan bahwa untuk membuka bengkel sepeda
motor / mobil ada syarat bahwa orang harus punya IJAZAH MONTIR, dan karena itu
seseorang melakukan kecurangan sedemikian rupa sehingga dia akhirnya memiliki
ijazah montir, apakah OTOMATIS DIA BISA MEMPERBAIKI MESIN mobil / sepeda motor
? Tentu saja tidak. Dan tentu saja orang yang memperbaiki mobil / sepeda motor
ke bengkel itu justru akan KECEWA, MARAH, MENGGUGAT, dan akibatnya bengkel itu
TUTUP / BANGKRUT.
Ibu dan Bapak Yth.,
Saya dalam edisi kali ini sekedar menceritakan obrolan saya
dengan anak saya. Semoga menjadi bahan renungan kita dalam menemani anak-anak
kita : ijazah itu perlu, dalam arti bahwa itu adalah SELEMBAR KERTAS yang
MENGINFORMASIKAN ILMU yang dikuasai oleh anak kita. Artinya juga, tanpa
penguasaan ilmu, maka SELEMBAR KERTAS yang bernama ijazah itu TIDAK BERMAKNA
APA-APA.
Selamat menemani anak.
"Menemani Anak = Mencerdasakan Bangsa"
-----o0o-----
Tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Praktisi Psikologi
Industri dan Komunikasi, Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi
Indonesia, Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Ilmu Sosial. Dapat dihubungi via HP
: 082 322 678 579, e-mail : constantinus99@gmail.com, FB : Si Jurai
Constantinus. Alamat surat : Jalan Anjasmoro V nomor 24 Semarang 50149.