Dikelola oleh Dr. Susana Adi Astuti, S.Pi, MM, M.Si; Dr. Constantinus, S.Pi, S.Psi, MM, MM, M.Psi, Psikolog; Bernardine Agatha Adi Konstantia, S.T.P., M.Sc. Kantor : Kedaton Terrace D9/03, BSB City, Semarang. WA : 0852 1540 6189. Rekanan : BIRO PSIKOLOGI Dr.Constantinus & Rekan.
Minggu, 13 April 2014
Jangan menuntut anak untuk melakukan apa yang tidak kita lakukan
Ibu dan Bapak Yth.,
Baru-baru ini saya diajak diskusi panjang lebar oleh seorang pemilik perusahaan. Pemilik perusahaan ini sangat tidak suka dengan anak buahnya yang bekerja tidak detail / teliti / tertib secara administrasi, yang mana hal ini menyebabkan perusahaannya mengalami kesulitan-kesulitan karena digugat oleh relasi-relasi bisnisnya (apa yang sudah dijanjikan kepada relasi bisnis tidak dapat dipenuhi karena administrasi yang tidak tertib / detail / teliti, sehingga kacau / lupa memenuhi janji).
Seperti biasa, sebagai seorang pemberi advis, saya menyimak baik-baik apa yang dikatakan oleh pemilik perusahaan itu. Setelah itu, saya melakukan observasi : bagaimana situasi dan kondisi di perusahaan itu, sehingga karyawan bisa tidak tertib administrasi seperti itu.
Hasil observasi yang saya lakukan cukup membuat saya tersenyum dalam hati. Ternyata pemilik perusahaan sendiri juga tipe orang yang tidak tertib administrasi dan tidak detail. Maka, dicontohlah perilaku ini oleh para anak buahnya. Artinya, budaya yang ada di sana memang tidak tertib / tidak detail, karena orang yang menjadi contoh / panutan juga demikian.
Tentu saja, saya menyampaikan kepada pemilik perusahaan itu bahwa hal ini menyangkut "budaya kerja" baru yang akan diterapkan di perusahaan miliknya. Semua orang harus berubah, harus siap dengan "budaya kerja" yang baru ini. Termasuk pemilik perusahaan harus berubah, karena justru menjadi contoh / panutan.
Pemilik perusahaan kemudian bertanya kepada say, apa memang harus begitu. Saya menjawab, ya. Karena pemilik perusahaan di sini masih memimpin langsung anak buahnya dalam melakukan pekerjaan sehari-hari. Tidak mungkin anank buahnya disuruh berubah, tetapi pemilik perusahaan yang sekaligus pemimpinnya justru tidak berubah.
Ibu dan Bapak Yth.,
Saya lalu teringat pada hubungan orang tua dan anak di rumah. Saya teringat bahwa dulu saya adalah seorang perokok. Saya merokok sejak saya masih SMA. Saat kuliah saya perokok. Saat bekerja di Bank BNI, saya perokok berat. Kemudian saya berhenti merokok ketika saya punya anak. Anak saya mulai menirukan apa saja yang saya lakukan. Termasuk meniru membuat rokok-rokok-an. SAYA TIDAK ANTI ROKOK. SAYA MENGHORMATI PILIHAN TEMAN-TEMAN SAYA UNTUK MENJADI PEROKOK. TETAPI SAYA MEMILIH UNTUK TIDAK MEROKOK. Dan kepada anak saya, karena dia seorang perempuan, saya berharap bahwa dia tidak merokok. Oleh karena itu, saya harus HARUS MEMBERI CONTOH dengan berubah dari seorang perokok menjadi tidak merokok.
Ibu dan Bapak Yth.,
Sekali lagi, inti dari tulisan ini bukan pada merokok atau tidak merokok (saya tahu bahwa hal ini sangat sensitif, dan saya punya prinsip bahwa itu adalah HAK MASING-MASING ORANG UNTUK MENENTUKAN PILIHAN : mau merokok atau mau tidak merokok), tetapi inti dari tulisan ini adalah bahwa KITA HARUS BERUBAH DAN MENJADI CONTOH bagi anak (dan juga anak buah) supaya mereka melakukan apa kita harapkan HARUS MEREKA LAKUKAN. Adalah tidak mungkin menyuruh anak melakukan apa yang kita sendiri tidak melakukannya.
Selamat menemani anak.
"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"
-----o0o-----
Tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Sarjana Ilmu Alam dan Sarjana Ilmu Sosial. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia. Mahasiswa Profesi Psikologi pada Universitas Katholik Soegijapranata Semarang. Dapat dihubungi lewat HP 082 322 678 579, e-mail : constantinus99@gmail.com, atau surat ke alamat : Jalan Anjasmoro V nomor 24 Semarang 50149.