Senin, 14 April 2014

Tentang Cita-Cita


Ibu dan Bapak Yth.,

Dalam blog inspirasi pendidikan kreatif edisi kali ini, saya akan men-sharing-kan pengalaman tentang cita-cita anak. Sebenarnya, ini juga termasuk men-sharing-kan pengalaman saya sendiri tentang cita-cita dan bagaimana kenyataannya.

Ibu dan Bapak Yth.,

Saya akan lebih dahulu menceritakan cita-cita saya. Ketika masih SD, saya (seperti kebanyakan anak kecil lainnya) bercita-cita menjadi pilot pesawat terbang. Saya bilang kepada ibu saya, bahwa beliau akan saya ajak serta dalam pesawat yang saya kemudikan. Supaya tidak takut, beliau akan saya beri kursi khusus di bagian belakang pesawat dan dilengkapi dengan selendang yang biasa dipakai untuk menggendong bayi (kebiasaan di daerah Semarang, tempat tinggal saya : bayi --- termasuk saya dulu --- digendong dengan memakai selendang yang terbuat dari kain batik yang "seharusnya" diperuntukkan untuk "bawahan" pakaian tradisional "kebaya" Jawa). Lucu, tetapi inilah cita-cita masa kecil (belum sekolah). Dan sampai saya sudah kuliah, ibu saya masih senang menceritakan cita-cita saya sewaktu masih kecil ini, yang menunjukkan bahwa ibu begitu senang : meskipun cita-cita itu tidak masuk akal (mana mungkin seorang pilot selalu mengajak ibunya turut serta di dalam pesawat yang dikemudikannya), tetapi menurut ibu saya, bahkan di dalam bercita-cita, saya tidak melupakan beliau.

Ketika saya SD kelas V atau kelas VI, cita-cita saya berubah. Saya ingin menjadi penuilis. Saat SMP, saya tetap ingin menjadi penulis, dan juga ilmuwan. Ketika SMA (di SMA Kolese Loyola Semarang, saya aktif berorganisasi dan ber-teater), saya tetap ingin menjadi penulis, dan sekaligus menjadi sopir sambil kuliah. Mengapa demikian ? Karena ayah saya adalah seorang sopir, dan secara keuangan hidup kami pas-pasan. Karena itu, ketika SMA kelas III, saya sudah punya SIM A, sebagai persiapan untuk melamar jadi sopir setelah saya lulus SMA. Saya justru tidak punya SIM C, karena saya tidak punya sepeda motor.

Setelah lulus SMA, saya tidak jadi melamar kerja sebagai sopir. Saya bekerja sebagai salesman (berjalan kaki) untuk berjualan buku ensiklopedi, kemudian menjadi agen asuransi, dan selanjutnya menjadi guru les privat (sambil saya kuliah di Perikanan Undip). Pekerjaan-pekerjaan itu saya pilih karena secara praktis memenuhi kebutuhan hidup saya (mendapatkan penghasilan) dan tidak mengganggu cita-cita saya menjadi seorang sarjana (saya sangat suka dan menikmati kuliah-kuliah Ekologi yang ada di Perikanan Undip, yang penuh dengan praktikum di laut selama berhari-hari). Tentu saja, saya tetap menulis, dan tulisan-tulisan saya (cerpen, pengetahuan populer) dimuat di surat kabar dengan nama samaran. Wah, rasanya bangga sekali.

Ketika kuliah di Perikanan Undip, saya bercita-cita menjadi Ilmuwan Ekologi di kapal penelitian. Untuk itu, setelah lulus sebagai sarjana, saya ingin melanjutkan pendidikan di Politeknik Ilmu Pelayaran (dulu namanya masih Balai Pendidikan dan Latihan Pelayaran disingkat BPLP ) milik Departemen Perhubungan, karena dosen kuliah Navigasi saya adalah Captain Arso Martopo yang saat itu menjadi Direktur BPLP.

Tetapi ketika lulus sarjana, kebetulan ibu dipanggil menghadap Tuhan Yang Mahaesa. Ayah saya berkata, kalau bisa, saya mencari kerja di dekat rumah saja. Kebetulan, saat itu Bank BNI membuka lowongan kerja. Maka, saya pun memdaftar, dan setelah menjalani tahapan-tahapan tes yang seluruhnya memakan waktu 3 bulan, saya dinyatakan diterima.

Itu adalah sharing pengalaman saya pribadi, dari yang penuh dengan khayalan di masa pra sekolah, sampai ke masa kuliah yang semakin realistis.

Ibu dan Bapak Yth.,

Anak saya semata wayang, dulu bercita-cita menjadi astronot ketika masih kecil. Sekarang, pada saat wawancara penerimaan murid baru di SMA Kolese Loyola, cita-citanya adalah menjadi seorang Ekolog alias Ilmuwan Ekologi. (Dan dia sudah diterima sebagai murid baru di SMA Kolese Loyola tahun ajaran 2014 / 2015 dengan cita-cita itu).

Seorang teman baik saya bercerita bahwa teman anaknya bertanya kepadanya, pekerjaan apa yang nantinya mudah menghasilkan uang (anak itu juga kelas IX alias kelas III SMP, seusia dengan anak saya).

Ibu dan Bapak Yth.,

Dari cerita-cerita di atas, dapat kita lihat bahwa cita-cita setiap orang berbeda-beda, yang pasti harus MENYENANGKAN dan membuatnya BERSEMANGAT MENJALANI HIDUP. Pada kenyataannya, ada sebagian cita-cita yang terwujud (saya tetap bisa "hidup" dalam arti punya penghasilan dan banyak teman dengan menjadi penulis, sesuai cita-cita saya sejak kelas V atau VI SD), tetapi sekarang ini saya juga senang menjalani hidup sebagai orang yang bekerja di bidang psikologi industri (padahal dulunya saya ingin menjadi ilmuwan di laut).

Apa yang bisa kita renungkan dari tulisan ini adalah : biarkan anak kita bercita-cita, dan kita sebagai orang tua selalu menemani dalam DOA dan secara nyata sebagai TEMAN TERBAIK BAGI ANAK.

Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----o0o-----

Tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Sarjana Ilmu Alam dan Sarjana Ilmu Sosial. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia. Dapat dihubungi via nomor HP 082 322 678 579 atau e-mail : constantinus99@gmail.com atau FB : Si Jurai Constantinus. Alamat surat : Jalan Anjasmoro V nomor 24 Semarang.