(Jangan lagi ada)
ORANG MUDA YANG
TERPAKSA MENGUBUR
CITA-CITANYA
Jumat tanggal 3 April 2020 itu seperti biasa saya memimpin tim professional human resources melakukan
seleksi karyawan. Sudah delapan belas tahun saya melakukan pekerjaan ini.
Tetapi selalu saja ada yang baru buat saya. Entah kejadiannya yang baru, entah
saya yang melihat kejadian yang sama dengan sudut pandang baru, entah keduanya.
Kali ini, di antara sekian banyak pelamar untuk menjadi operator
stasiun pompa bensin untuk umum (SPBU), ada seorang pelamar wanita yang pandai secara akademik maupun pengukuran
psikologi. Dia lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK), pernah kuliah S-1
akuntansi semester I tapi tidak sampai ujian semester, kemudian drop out. Dia terpaksa putus kuliah
karena kondisi keuangan keluarga mengharuskannya untuk bekerja, dan dia bekerja
dengan sistem shift sehingga tidak
mungkin meneruskan kuliah. Selain itu, uang hasil bekerja dipakai untuk
membantu ibu membiayai satu orang adiknya yang masih sekolah. Ibunya bekerja
membantu tetangga membuat selai roti, ayahnya sudah meninggal ketika dia kelas
3 sekolah dasar. Ketika saya bertanya, apakah dia masih ingin melanjutkan
kuliah, dengan tegas dia menjawab, “Tidak. Saya tidak ingin melanjutkan
kuliah.” Tetapi matanya berkaca-kaca. Anak pandai itu telah mengubur
cita-citanya sendiri untuk menjadi sarjana. Padahal, dia adalah anak muda yang
memiliki potensi baik.
Saya masih memikirkan dia. Apa yang dapat saya lakukan untuknya ?
Saya juga merenung. Mengapa Tuhan yang Mahaesa mempertemukan saya
dengan pelamar seperti dia ? Pesan apa yang hendak disampaikan Tuhan kepada
saya melalui pertemuan dengan dia ?
*****
“Idea pa lagi yang kamu pikirkan ?” tanya Slontrot mengagetkan saya.
“Hanya merenungkan value dari
pekerjaan,” jawab saya sekenanya saja.
“Value ? “ kata Slontrot
penuh rasa ingin tahu.
“Nilai luhur yang ada pada pekerjaan sehari-hari,” jawab saya. “Saya
bertemu pelamar kerja yang pandai tapi tidak bisa melanjutkan kuliah karena
keterbatasan keuangan.”
“O….,” kata Slontrot mengangguk-anggukkan kepala. “Terus, kamu punya
gagasan apa ?”
“Mengadakan pelatihan jarak jauh tentang hal-hal mendasar yang berguna
bagi dia untuk meniti karir di tempat kerjanya, sehingga suatu ketika dia tidak
perlu kerja shift lagi, dan memiliki uang untuk meneruskan cita-citanya menjadi
sarjana,” jawab saya.
“Bagaimana cara dia membayar pelatihan jarak jauh yang kamu adakan itu
?” tanya Slontrot.
“Gratis saja,” jawab saya pendek.
“Jadi, pelatihan yang kamu adakan itu tentang apa ?” Slontrot bertanya
lagi.
“Tentang hal yang praktis saja. Tentang cara berkomunikasi secara
lisan. Juga menulis surat atau pengumuman di tempat kerja. Tentang cara
meningkatkan ketrampilan berhitung alias matematika, dan membuat perencanaan
berdasarkan perhitungan matematika,” saya menjawab panjang lebar. “Itu
ditujukan untuk pelamar kerja sekelas operator atau
buruh atau cleaning service.
Mereka juga membutuhkan pelatihan untuk bekerja dengan baik supaya mendapatkan
penghasilan yang baik.”
*****
Senja datang. Langit jingga membuat saya teringat lagu yang saya
nyanyikan dengan teman-teman teater saat masih di SMA Kolese Loyola tahun 1986
– 1989, “Langit merah…. udara basah…. oleh air mata….”.
Ah, apakah hidup adalah sebatas panggung sandiwara ? Mungkin saja
tidak. Ada banyak perjumpaan yang membuat hidup menjadi lebih bermakna.
Teringat juga kepada guru pelajaran teater saya, almarhum Victor
Roesdianto. Juga kepada sahabat bermain teater saya, almarhum Bimo Sekundatmo. Semoga
mereka bahagia di surga, bersama almarhum Cristian dan almarhum Joko, dua orang
teman teater saya yang lain yang sudah dipanggil Tuhan di tahun 1986.
*****
Slontrot pamit pulang.
Dan untuk saat ini, saya menyukupkan tulisan ini.
Semarang, 5 April 2020
“Holiparent Research & Education”
Kedaton Terrace D09/3, BSB City, Mijen, Semarang