Keponakan saya yang tinggal di luar kota (saya tinggal di
Semarang) sekarang ini duduk di kelas II Sekolah Dasar. Tetapi dia belum bisa
naik sepeda. Ketika ibunya sedang meneruskan pendidikan di Semarang, keponakan
saya ikut ke Semarang dan sekolahnya pindah ke Semarang.
Sepulang dari sekolah
di Semarang, dia belajar naik sepeda. Pada hari keempat dia belajar naik
sepeda, keponakan saya sudah mahir bersepeda. Padahal selama lebih dari satu
tahun di tempat tinggalnya, dia tidak bisa naik sepeda.
Kenapa ? Karena dulu dia
TIDAK BELAJAR naik sepeda !
* * *
"Kenapa kamu di rumahmu
sendiri tidak bisa naik sepeda ?" tanya saya kepada keponakan saya.
"Saya malu,"
jawabnya.
"Malu kepada siapa ?"
"Malu dengan
teman-teman".
"Kenapa ?"
"Karena aku sudah besar
tapi belum bisa naik sepeda".
"Memangnya teman-temanmu
di sana semua sudah pandai naik sepeda ?"
"Iya. Yang lebih kecil
dari aku juga sudah bisa naik sepeda".
"Kenapa di Semarang kamu
tidak malu belajar naik sepeda ?" tanya saya.
"Karena di sini aku tidak
kenal mereka, jadi aku tidak malu," kata keponakanku.
* * *
Ibu - Ibu dan Bapak - Bapak
Yth.,
Apa yang saya
"sharing"-kan lewat tulisan kali ini sebenarnya adalah renungan bagi
kita bersama.
Pertama, RASA MALU bisa
menghambat proses belajar anak. Kita sebagai orang tua HARUS bisa MENGENALI
rasa malu yang ada dalam diri anak (yang menyebabkan proses belajar anak
terhambat, entah dalam hal belajar naik sepeda atau belajar apapun juga).
Kedua, ketika tidak ada rasa
malu dan anak mulai belajar, maka KEMAJUANNYA TERLIHAT PESAT. Dalam hal ini,
orang tua harus bisa menjadi teman bagi anak, supaya anak merasa DIAKUI
KEBERHASILANNYA.
* * *
"Apa senjata paling ampuh
untuk mengalahkan singa ?" tanya saya kepada keponakan saya itu. Siang
itu, kami sedang main tebak-tebakan.
Seperti diduga, keponakan saya
menyebut bermacam-macam senjata. Pedang dan pistol adalah yang disebutnya.
"Bukan....," kata
saya sambil tersenyum.
"Terus jawabannya apa
?" tanya keponakan saya dengan penasaran.
"Penghapus," kata
saya, dengan wajah serius.
"Kok bisa ?" tanya
keponakan saya dengan tambah penasaran.
"Iya. Kalau singanya
datang, kedua matanya kita hapus dengan penghapus. Maka singa itu tidak bisa
melihat. Kemudian, ketika singa itu sedang bingung karena tidak bisa melihat,
giliran mulutnya kita hapus. Maka singa itu tidak bisa menggigit," jawab
saya.
"Ha....ha....ha....,"
keponakan saya tertawa,
Saya masih melanjutkan,
"Setelah itu, kaki kiri depan dan kaki kiri belakang kita hapus juga. Maka
singa itu akan bingung kalau mau berjalan".
"Ha....ha....ha....,"
keponakan saya tertawa tambah keras.
Saya ikut tertawa.
* * *
Keakraban dengan anak memang
sangat perlu (dalam hal ini : saya dengan keponakan saya yang masih kelas II
SD).
Keakraban ini bisa dibangun
dengan lelucon-lelucon seperti ini, supaya anak merasa bahwa kita adalah
sahabatnya. (Namun, kita tetap harus tegas dan memegang prinsip ketika
mengharuskan anak belajar pada waktunya. Dengan demikian, ada KESEIMBANGAN
antara "akrab sebagai sahabat" sekaligus "berwibawa dalam
memberikan pengarahan". Keponakan saya "segan" kepada saya,
karena di satu pihak saya yang menyiapkan sepedanya, di lain pihak saya
bersikap tegas ketika mengharuskan dia tidak boleh nonton televisi ketika
sedang belajar).
Selamat menemani anak.
"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".
"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".
-----oOo-----
Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Sarjana Ilmu Alam dan Sarjana Ilmu Sosial. Anggota Himpunan Psikologi Indonesoa dan Anggota Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi. Mahasiswa Magister Profesi Psikologi di Unika Soegijapranata.