Senin, 20 Agustus 2012

CERITA-CERITA UNTUK ANAK TENTANG LEBARAN TEMPO DULU



SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1433 H.
MOHON MAAF LAHIR BATIN.

Sabtu malam, 18 Agustus 2012, saya ditelepon oleh saudara saya yang tinggal di luar kota. Intinya menanyakan kapan saya datang ke sana, sebab sudah banyak keluarga yang berkumpul.

Suasana Lebaran memang selalu khas dan menyenangkan. Kehidupan yang biasanya penuh sesak dengan "urusan target pekerjaan", bisa terasa teduh dengan bersilaturahmi dengan sanak saudara dan handai taulan.

--------------------

Minggu pagi ---------- 19 Agustus 2012 ---------- saya membuka internet untuk menulis blog harian. Masih pukul 03.30. Seselai nge-blog, saya membuka Facebook.

Wah, senang sekali rasanya, membaca uacapan-ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir Batin. Banyak juga yang ditulis dengan huruf-huruf indah dan foto / gambar yang bagus-bagus. Saya jadi bersemangat untuk meng-klik tulisan "SUKA" yang ada di bawah tulisan / gambar ucapan-ucapan itu.

--------------------

Hari Sabtu siang (18 Agustus 2012) ---------- setelah keliling-keliling belanja di pasar untuk memasak lontong / ketupat opor ayam buat berlebaran, ban mobil kiri belakang saya kempes. Jadi, saya ganti dengan ban cadangan. Kemudian, sesampainya di dekat rumah, saya tambalkan ban yang bocor itu di tukang tambal ban langganan.


Nah, sambil menunggu, saya ngobrol-ngobrol dengan tukang tambal ban yang sedang bekerja. Rencananya, dia tetap buka selama Lebaran. Bukan semata-mata mencari uang, tetapi juga membantu orang-orang yang bannya kempes / bocor.

Saya salut. Kepada anak saya yang ikut menunggu ---------- tetapi sambil tiduran di dalam mobil ---------- saya katakan bahwa ada nilai-nilai luhur dalam setiap pekerjaan ---------- yaitu membantu orang lain yang berkesusahan, bukan semata-mata sekedar mencari uang ---------- termasuk yang baru saja dikatakan oleh tukang tambal ban ini : libur Lebaran tetap buka (tetapi jaganya bergantian dengan teman), menolong orang yang bannya kempes / bocor di saat sedang libur Lebaran.

----------

Mobil-mobil dengan plat Nomor Polisi "B" (Jakarta), "D" (Bandung), dan ada juga "T" (Karawang" sudah bersliweran di Kota Semarang sejak 2 malam sebelum Lebaran.

 
Saya dan anak saya menikmati pemandangan ini. Mobil-mobil itu penuh dengan anggota keluarga, membawa barang-barang yang ditarus di atas atap mobil. Keceriaan para penumpang di dalam mobil yang akan berjumpa dengan sanak saudaranya ---------- yang hanya bisa dilakukan setahun sekali karena letak kota yang berjauhan itu ---------- rasanya sungguh-sungguh menular di dalam hati saya sekeluarga : kami jadi ikut bergembira.

--------------------

Banyak juga sepeda motor dari Jakarta ---------- ber-plat Nomor Polisi "B" ---------- yang sudah masuk Kota Semarang. Biasanya berboncengan. Ada yang memboncengkan anak juga. Yang pasti, selalu membawa tas-tas pakaian besar. Ada yang ditaruh di bilah kayu yang sengaja dipasang di belakang jok sepeda motor.
Melihat ini, anak kita ajak untuk berdoa dalam hati, semoga perjalanan mereka semua lancar dan selamat sampai di tempat tujuan (bertemu dengan sanak keluarga dan handai taulan dalam keadaan sehat dan bahagia).

--------------------



Lebaran memang membuat kita lebih peduli kepada sesama, apapun pekerjaan dan agama kita.

Dan di malam Hari Raya Idul Fitri, Kota Semarang dipenuhi dengan anak-anak dan orang muda yang menyerukan gema Takbir. Kemeriahan dan kegembiraan terasa di mana-mana.

--------------------


Saya selalu masih saja menceritakan kepada anak saya, bahwa di masa saya masih TK atau SD ---------- tahun 1970-an ---------- tetangga-tetangga di rumah Jalan Sriwijaya Semarang selalu mengirim lontong / ketupat plus opor ayam dan sambal goreng ati. Ada kiriman dari Pak Erpan / Bu Daliyem yang punya usaha buka warung kelontong. Ada kiriman dari Pak Lik Yasik / Bu Lik Sar (Pak Lik Yasik bekerja sebagai tukang becak, lalu belakangan jadi tukang air. Bu Lik Sar bekerja jadi tukang air). Tetangga kami di Sriwijaya yang paling minim secara keuangan adalah Pak Dul Sepatu (tukang sol sepatu) / Mak-e Pri (dipanggil demikian karena beliau punya anak sulung bernama Priyono). Mak-e Pri dalam kesederhanaannya juga mengirim lontong opor ---------- meskipun cuma sedikit ---------- kepada keluarga kami. Kami selalu terharu karenanya.

Ada juga Oom Moch (nama lengkapnya hampir pasti Mochamad) yang mengirim lontong opor juga. Oom Moch adalah teman ngobrol ayah saya, karena sama-sama bekerja sebagai sopir mobil pribadi.

Ada juga Pak Pardi. Beliau bekerja sebagai pegawai negeri. Lalu ada Bu Patonah (kalau tidak salah, nama suaminya adalah Mas Jo). Bu Patonah ini anak dari Pak Erpan /  Bu Daliyem.

Wah, kalau Lebaran, meja makan keluarga jadi penuh denga  lontong / ketupat opor kiriman dari tetangga.

----------

Nanti, saat Natal tiba, giliran ibu saya yang mengirim lontong opor plus sambal goreng ati ke tetangga-tetangga yang beragama Islam. (Keluarga saya beragama Katholik).

Begitulah, tali silaturahmi itu terjaga. Bukan makanannya yang penting, tetapi tali silaturahmi-nya yang utama.

Kalau dengan keluarga Meneer Tjiam Tjin See / keluarga Meneer Souw See Ie, beda lagi. Mereka tinggal di seberang rumah, dari etnis Tionghoa. Meneer Tjiam / Meneer Souw selalu mengirim kue tart saat Tahun Baru (Masehi). Kami senang karena merasa diperhatikan. Maka, pada saat Tahun Baru Imlek, ayah dan ibu saya giliran mengirim kue tart kepada mereka.

----------


Kini, zaman sudah berubah. Kirim-mengirim lontong opor antar tetangga mungkin sudah tidak populer lagi, karena keterbatasan waktu.

Bagaimanapun, semoga sarana-sarana handphone / BB, tablet / notebook / laptop dengan saluran internet / facebook / twitter, dan sebagainya dapat menjadi sarana bersilaturahmi di era digital ini.

--------------------

Selamat menemani anak.

Selamat memberi contoh nyata kepada anak ---------- betapapun sederhananya, lewat cerita-cerita "luhur" maupun perbuatan ---------- tentang sikap toleransi beragama. Dengan demikian, semoga anak-anak kita tumbuh berkembang sebagai orang yang berbudi luhur dalam berkat dan lindungan Tuhan Yang Mahaesa.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----o0o-----

Foto-foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph, kecuali foto paling atas dibuat oleh Bernardine Agatha. Constantinus adalah Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Sarjana di bidang Ilmu Sosial. Magister Manajemen di bidang Parketing. Bekerja sebagai Praktisi Psikologi Industri dan Praktisi Perbankan.