Perilaku tidak disiplin / sulit diatur / suka melanggar aturan banyak dipengaruhi oleh "proses belajar sosial" sejak masa kanak-kanak. Apabila anak "kebetulan" ada kecenderungan tidak disiplin / sulit diatur / suka melanggar aturan, dan tidak "diingatkan / diluruskan" oleh orang tuanya dan / atau guru-guru di sekolahnya, maka "kebiasaan" itu akan bertahan bahkan berkembang pada saat dewasa nantinya.
Foto di atas menunjukkan seseorang menyeberang jalan tidak pada jembatan penyeberangan, padahal di dekatnya ada jembatan penyeberangan. (Foto ini dibuat oleh penulis dari jembatan penyeberangan yang ada di dekat situ).
Kalaupun malas harus naik tangga jembatan penyeberangan, setidaknya bisa mencari "zebra cross"...... Tetapi kalau memang sudah biasa tidak disiplin / sulit diatur / suka melanggar aturan, ya memang "rasanya lebih enak menyeberang di sembarang tempat" seperti ini, lebih praktis dan mudah....
Orang tua setidaknya memiliki peran yang besar untuk menemani anaknya sehingga anak tumbuh menjadi individu yang berdisiplin.....
--------------------
Dalam pertemuan orang tua murid dengan guru yang
diadakan di sekolah anak saya beberapa waktu lalu, diungkapkan oleh pihak
sekolah tentang perlunya orang tua mendukung anak dalam mentaati ketentuan yang
berlaku di sekolah.
Kebetulan, sehari sebelum pertemuan itu diadakan, telah diadakan
razia di “2 dari 10” kelas VIII (dulu : kelas II) SMP di mana anak saya bersekolah (termasuk yang kena razia adalah kelas
anak saya). Seperti biasa, dalam
razia seperti ini ditemukan barang-barang yang memang dilarang dibawa oleh murid ke
sekolah, misalnya handphone.
(Dalam razia kali ini, anak saya tidak kena. Tetapi dulu, waktu kelas 4 SD,
anak saya pernah ketahuan membawa handphone ke sekolah. Itu bukan salah anak
saya saja, tetapi salah saya dan istri saya juga : kami yang mendorong anak
membawa handphone ke sekolah, supaya praktis kalau anak mau telepon minta
dijemput pulang sekolah. Nah, pada saat sunyi senyap sedang pelajaran di kelas,
adik istri saya dari Kupang menelepon anak saya ! Ketahuan deh...... Sejak saat
itu, anak saya selalu taat pada ketentuan sekolah : tidak membawa handphone).
--------------------
Sebagai orang tua, saya dan istri saya memang beberapa kali juga
"tergoda" untuk mendorong anak membawa handphone ke sekolah. Biasanya
pada saat ada kegiatan khusus di sekolah, misalnya pertandingan antar kelas
menyambut Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Maksudnya, supaya kalau kegiatan itu sudah selesai, anak bisa menelepon ke
handphone saya atau istri untuk minta
dijemput. (Anak saya
kalau pulang sekolah biasanya ikut mobil antar jemput yang sudah ditentukan jam
keberangkatannya; kalau ada kegiatan seperti ini, mobil antar jemput pasti
sudah jalan duluan sesuai jadwalnya, padahal lomba-lomba antar kelas belum selesai. Sebenarnya pemecahannya sederhana saja :
anak saya beberapa kali pulang naik angkutan umum, tidak ada masalah. Memang
orang tuanya saja yang ribet....).
Tetapi anak saya
tetap bersikukuh untuk
tidak membawa handphone
ke sekolah. Takut kalau kena
razia. (Di sekolah anak saya, boleh membawa notebook / laptop asal tidak untuk
main game, dan boleh membawa kamera kalau ada kegiatan (kebetulan anak saya
fotografer kelas), tetapi tidak boleh membawa handphone).
Anak saya memilih menelepon lewat telepon umum di sekolah.
Telepon ini hanya bisa menghubungi nomor telepon rumah atau nomor handphone
yang punya awalan nomor
024. Padahal
nomor-nomor handphone yang dipakai saya atau istri saya berawalan nomor 081
atau 085. (Maaf, ini bukan promosi).
"Nanti aku telepon Eyang di rumah, minta tolong Eyang
menelepon HP Mamah atau Papah," begitu selalu jawaban anak saya setiap
kali saya atau istri "tergoda" untuk mendorong anak membawa handphone
ke sekolah.
-----------------------
Dulu waktu saya dan istri saya masih SMA (kami sama-sama sekolah
di SMA Kolese Loyola Semarang), razia sekolah juga sering dilakukan.
Memang, waktu itu murid-murid di SMA ini "terkenal"
karena ke sekolah boleh
tanpa pakaian seragam
dan boleh pakai
baju kaos (hanya pakai seragam sekolah setiap hari Senin dan setiap
upacara bulanan tanggal 17. Hal ini masih berlaku sampai sekarang). Boleh pakai
sepatu sandal. Boleh pakai celana panjang jeans (putra) atau rok jeans (putri).
Juga ada ketentuan boleh naik sepeda motor asalkan jarak dari
sekolah ke rumah minimal 5 km. Itu pun Nomor Polisi sepeda motor harus
dimintakan "dispensasi" kepada Pamong (Wakil Kepala Sekolah - Bidang
Kesiswaan).
Di situ disebutkan "dispensasi", artinya “boleh
membawa sepeda motor ke sekolah” itu merupakan dispensasi alias pengecualian karena
jarak sekolah - rumah cukup jauh. Dan "dispensasi" ini ada kartunya,
yang mencantumkan Nomor Polisi sepeda motor. Hanya 1 Nomor Polisi yang boleh
dicantumkan, dan ini berlaku selama 1 tahun (baru bisa ganti Nomor Polisi 1
tahun kemudian). Tujuannya, supaya tidak "gonta-ganti" sepeda motor
ke sekolah.
Tidak pamer punya banyak sepeda motor.
Nah, sering ada razia kartu “dispensasi"
sepeda motor ini. Biasanya yang tertangkap adalah murid yang membawa sepeda
motor padahal tidak punya kartu "dispensasi", atau murid yang punya
kartu "dispensasi" tetapi Nomor Polisi sepeda motor yang dibawa hari
itu beda dengan yang tercantum pada kartu "dispensasi" (= “ganti sepeda motor”).
Yang kedapatan melakukan pelanggaran waktu dilakukan razia,
tentu mendapat hukuman dari sekolah.
--------------------
Sekarang, setelah saya berumur 42 tahun dan hidup (bekerja)
dalam dunia Praktisi Psikologi Industri, saya meyakini perlunya razia-razia di
sekolah seperti itu.
Maksud saya begini. Razia itu membuat anak taat menjalankan
ketentuan yang berlaku. Kalaupun ada yang agak-agak bandel, tentu
"diluruskan" dengan adanya razia itu. Kalau anak bandel dan tidak pernah di-razia / tidak
pernah “diluruskan” perilakunya sesuai ketentuan di sekolah, ketika dewasa juga
terbiasa untuk tidak taat aturan alias sulit diatur.
Memang, ada murid yang sebenarnya tidak perlu ada kegiatan
razia, yaitu murid yang taat ketentuan /
disiplin. Tetapi karena selalu saja
ada murid yang suka
melanggar ini dan itu, maka razia itu perlu. Sekali lagi, supaya kalau pun
mereka melakukan pelanggaran (namanya juga anak-anak / remaja), mereka ini
"diingatkan".
-----------
Selamat menemani anak.
Selamat menemani anak untuk disiplin. Juga, selamat menahan diri
sendiri untuk tidak "tergoda" mendorong anak "berbuat tidak
disiplin". (NB : saya dan istri juga masih selalu berjuang dalam hal ini).
Sebab, di usia dewasa nanti, anak yang terbiasa disiplin akan
"lebih lancar" dalam dunia kerja-nya. “Tidak macam-macam”. “Tidak semaunya sendiri”.
"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".
-----o0o-----
Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Ilmuwan
Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Sarjana di
bidang Ilmu Alam dan Sarjana di bidang Ilmu Sosial. Magister Manajemen di
bidang Marketing, Praktisi Psikologi Industri, dan Praktisi Perbankan.