Dua orang anak sedang asyik menyulut petasan di tengah jalan (foto atas).
Dua orang anak yang sama sedang melihat petasannya meletus sambil menutup telinga (foto bawah)
Adat-istiadat
dan kebiasaan menurut Prof. Koentjaraningrat merupakan salah satu unsur
kebudayaan. Begitu yang dulu saya pelajari dalam kuliah Ilmu Budaya Dasar di
Jurusan Perikanan Undip dengan dosen Prof. Dr. Nurdin H. Kistanto, MA di tahun
1990 (waktu itu, beliau belum menjadi Doktor dan Guru Besar).
Saya masih
ingat, sebagai mahasiswa Ilmu Alam, hampir semua mahasiswa Perikanan Undip agak
kurang bersemangat dengan kuliah "tentang budaya" ini. Tetapi saya sendiri senang. Mungkin karena sejak dulu saya ingin jadi seniman, dan Prof. Nurdin bagi
saya adalah seorang seniman / budayawan (dulu beliau selalu pakai nama “Nurdin Haka”; saya
sendiri kalau menulis cerpen pakai nama “Tien Este”....kalau
cerpen saya bisa dimuat di surat kabar, wah...senangnya
bukan main...).
--------------------
Tetapi
bukan "tentang kuliah ke-budaya-an" saya menulis blog kali ini.
Tetapi
tentang kebiasaan. Khususnya, kebiasaan main
petasan.
Wah....
--------------------
Saya bukan
orang yang tidak setuju dengan petasan. Tetapi kalau undang-undang melarang
bermain petasan, maka menurut saya seharusnya hal
itu
ditaati.
Masalahnya,
kenapa sampai sekarang masih banyak (yang membeli dan yang bermain)
petasan ?
--------------------
Spanduk yang dipasang di dinding sebuah gedung "tentang larangan membuat, menyimpan, menjual, membunyikan petasan" (foto atas).
Ironisnya, dua orang anak yang terlihat sedang bermain petasan pada foto-foto di atas, bermain petasan di dekat spanduk ini dipasang.
Pemasangan spanduk tetapi "tanpa disertai peran serta orang tua" terlihat tidak efektif dalam masalah per-petasan-an.
Ketika kita
menemani anak tumbuh dewasa, salah satu tanggung jawab kita adalah supaya anak tumbuh
menjadi pribadi yang baik secara normatif. Salah satunya, ya taat
hukum.
Maksud saya
begini. Dulu di masa kecil kita, mungkin kita senang bermain petasan.
Saya dulunya juga tidak tahu (sampai tahun 1977-an), kalau
main petasan itu dilarang. Baru setelah itu, sejak tahun 1980-an, semakin sering ada berita tentang kebakaran yang menewaskan korban disebabkan karena penyimpanan / pembuatan (pabrik) petasan yang meledak, ataupun petasan yang meletus (ketika dinyalakan) dan membuat orang terluka, yang diberitakan di koran disertai dengan sosialisasi bahwa petasan itu dilarang.
Tetapi yang pasti saya
tahu, dulu kawasan pertokoan di Pasar Peterongan Semarang tahun 1977 atau 1978
pernah terbakar hebat karena petasan.
Keluarga
saya panik waktu itu, karena pertokoan yang
terbakar itu cukup dekat dengan rumah keluarga saya di Jalan Sriwijaya
Semarang.
Sejak kejadian
kebakaran itu, saya tidak begitu “bersimpati” dengan
petasan.
--------------------
Foto di atas menunjukkan kertas-kertas bekas sebagai "jejak peninggalan" pesta petasan yang baru saja selesai dilakukan.
Kembali
ke masalah “tidak main petasan = taat hukum”.
Dalam rangka
menemani anak supaya menjadi pribadi yang taat hukum, kita bertanggung jawab
untuk memberi contoh kepada anak untuk "hidup taat hukum". Dalam hal
ini : tidak membeli / main petasan.
Masalahnya,
baik anak maupun diri kita sendiri (yang seharusnya menjadi
contoh bagi anak) seringkali “tidak bisa” kalau
harus "tidak main petasan" hanya karena alasan "taat
hukum".
Kalau saya
pribadi, saya berhenti "bersimpati" dengan petasan karena pengalaman
kebakaran besar di pertokoan Pasar Peterongan Semarang (karena
petasan yang terbakar / meledak) itu secara nyata memberikan
"pengalaman buruk" yang tidak bisa saya lupakan : ketika
itu sejak siang sampai malam
hari api kebakaran belum juga bisa dipadamkan, dan keluarga
saya terpaksa mengemasi surat-surat penting dan barang-barang karena
takut api kebakaran itu akan merembet sampai
ke rumah kami (untungnya hal itu tidak terjadi).
--------------------
Begitu banyaknya "jejak peninggalan" pesta petasan berupa kertas-kertas bekas bungkus petasan dapat dilihat pada foto di atas. Seluruh tempat parkir mobil di depan pasar tradisional ini penuh tertutup kertas bekas petasan.
Memang,
manusia selalu melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan pertimbangan "untung
- rugi" (dan ini tidak selalu "masalah" uang).
Kalau anak
kita (dan kita) melihat bahwa membeli dan main petasan itu "manfaatnya
(=kesenangan) tidak seimbang dengan bahayanya", maka petasan itu
tidak akan dibeli dan tidak akan dimainkan (jadi, bukan karena pertimbangan
"taat hukum").
Pertanyaannya,
apakah kita sebagai orang tua sudah dapat "menemukan" pertimbangan
untung-rugi itu untuk diceritakan kepada anak, sehingga anak tidak
"bersimpati" untuk membeli dan main petasan ?
Tentu saja,
sebenarnya kita sebagai orang tua dapat secara lugas mengatakan kepada anak
bahwa "main petasan = tidak taat hukum". Masalahnya, anak kecil
tidak paham dengan istilah itu. Jadi, memang harus dicarikan dan diceritakan kisah /
pengalaman yang menunjukkan bahwa "main petasan = lebih banyak bahayanya /
kerugiannya daripada manfaatnya".
--------------------
Selamat
menemani anak.
Selamat
menjadi teladan bagi anak untuk tidak "bersimpati" pada petasan.
Setidaknya,
ini juga mengajak anak untuk "taat hukum" sejak kecil, supaya anak
tumbuh menjadi pribadi yang secara normatif baik (= bukan jadi orang yang
terbiasa untuk tidak taat hukum).
"Menemani
Anak = Mencerdaskan Bangsa".
-----o0o-----
Foto dan
tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan
Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Sarjana
di bidang Ilmu Sosial. Magister Manajemen di bidang Marketing, Praktisi
Psikologi Industri, dan Praktisi Perbankan. Konsultan Komunikasi dengan motto
"JELAS - TEGAS - IMBANG".