Senin, 13 Agustus 2012

MENEMANI ANAK MENJADI PRIBADI TAAT HUKUM


Dua orang anak sedang asyik menyulut petasan di tengah jalan (foto atas).
Dua orang anak yang sama sedang melihat petasannya meletus sambil menutup telinga (foto bawah)




Adat-istiadat dan kebiasaan menurut Prof. Koentjaraningrat merupakan salah satu unsur kebudayaan. Begitu yang dulu saya pelajari dalam kuliah Ilmu Budaya Dasar di Jurusan Perikanan Undip dengan dosen Prof. Dr. Nurdin H. Kistanto, MA di tahun 1990 (waktu itu, beliau belum menjadi Doktor dan Guru Besar).

Saya masih ingat, sebagai mahasiswa Ilmu Alam, hampir semua mahasiswa Perikanan Undip agak kurang bersemangat dengan kuliah "tentang budaya" ini. Tetapi saya sendiri senang.  Mungkin karena sejak dulu saya ingin jadi seniman, dan Prof. Nurdin bagi saya adalah seorang seniman / budayawan (dulu beliau selalu pakai nama Nurdin Haka; saya sendiri kalau menulis cerpen pakai nama Tien Este....kalau cerpen saya bisa dimuat di surat kabar, wah...senangnya bukan main...).

--------------------

Tetapi bukan "tentang kuliah ke-budaya-an" saya menulis blog kali ini.

Tetapi tentang kebiasaan. Khususnya, kebiasaan main petasan.

Wah....

--------------------

Saya bukan orang yang tidak setuju dengan petasan. Tetapi kalau undang-undang melarang bermain petasan, maka menurut saya seharusnya hal itu ditaati.

Masalahnya, kenapa sampai sekarang masih banyak (yang membeli dan yang bermain) petasan ?

--------------------


Spanduk yang dipasang di dinding sebuah gedung "tentang larangan membuat, menyimpan, menjual, membunyikan petasan" (foto atas).

Ironisnya, dua orang anak yang terlihat sedang bermain petasan pada foto-foto di atas, bermain petasan di dekat spanduk ini dipasang. 
Pemasangan spanduk tetapi "tanpa disertai peran serta orang tua" terlihat tidak efektif dalam masalah per-petasan-an. 


Ketika kita menemani anak tumbuh dewasa, salah satu tanggung jawab kita adalah supaya anak tumbuh menjadi pribadi yang baik secara normatif. Salah satunya, ya taat hukum.

Maksud saya begini. Dulu di masa kecil kita, mungkin kita senang bermain petasan. Saya dulunya juga tidak tahu (sampai tahun 1977-an), kalau main petasan itu dilarang. Baru setelah itu, sejak tahun 1980-an, semakin sering ada berita tentang kebakaran yang menewaskan korban disebabkan karena penyimpanan / pembuatan (pabrik) petasan yang meledak, ataupun petasan yang meletus (ketika dinyalakan) dan membuat orang terluka, yang diberitakan di koran disertai dengan sosialisasi bahwa petasan itu dilarang.

Tetapi yang pasti  saya tahu, dulu kawasan pertokoan di Pasar Peterongan Semarang tahun 1977 atau 1978 pernah terbakar hebat karena petasan.

Keluarga saya panik waktu itu, karena pertokoan yang terbakar itu cukup dekat dengan rumah keluarga saya di Jalan Sriwijaya Semarang.

Sejak kejadian kebakaran itu, saya tidak begitu bersimpati dengan petasan.


--------------------


Foto di atas menunjukkan kertas-kertas bekas sebagai "jejak peninggalan" pesta petasan yang baru saja selesai dilakukan.

Kembali ke masalah “tidak main petasan = taat hukum”.

Dalam rangka menemani anak supaya menjadi pribadi yang taat hukum, kita bertanggung jawab untuk memberi contoh kepada anak untuk "hidup taat hukum". Dalam hal ini : tidak membeli / main petasan.

Masalahnya, baik anak maupun diri kita sendiri (yang seharusnya menjadi contoh bagi anak) seringkali tidak bisa kalau harus "tidak main petasan" hanya karena alasan "taat hukum".

Kalau saya pribadi, saya berhenti "bersimpati" dengan petasan karena pengalaman kebakaran besar di pertokoan Pasar Peterongan Semarang (karena petasan yang terbakar / meledak) itu secara nyata memberikan "pengalaman buruk" yang tidak bisa saya lupakan : ketika itu sejak siang  sampai malam hari api kebakaran belum juga bisa dipadamkan, dan keluarga saya terpaksa mengemasi surat-surat penting dan barang-barang karena takut api kebakaran itu akan merembet sampai ke rumah kami (untungnya hal itu tidak terjadi).

--------------------


Begitu banyaknya "jejak peninggalan" pesta petasan berupa kertas-kertas bekas bungkus petasan dapat dilihat pada foto di atas. Seluruh tempat parkir mobil di depan pasar tradisional ini penuh tertutup kertas bekas petasan.

Memang, manusia selalu melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan pertimbangan "untung - rugi" (dan ini tidak selalu "masalah" uang).

Kalau anak kita (dan kita) melihat bahwa membeli dan main petasan itu "manfaatnya (=kesenangan) tidak seimbang dengan bahayanya", maka petasan itu tidak akan dibeli dan tidak akan dimainkan (jadi, bukan karena pertimbangan "taat hukum").

Pertanyaannya, apakah kita sebagai orang tua sudah dapat "menemukan" pertimbangan untung-rugi itu untuk diceritakan kepada anak, sehingga anak tidak "bersimpati" untuk membeli dan main petasan ?

Tentu saja, sebenarnya kita sebagai orang tua dapat secara lugas mengatakan kepada anak bahwa "main petasan = tidak taat hukum". Masalahnya, anak kecil tidak paham dengan istilah itu. Jadi, memang harus dicarikan dan diceritakan kisah / pengalaman yang menunjukkan bahwa "main petasan = lebih banyak bahayanya / kerugiannya daripada manfaatnya".

--------------------

Selamat menemani anak.

Selamat menjadi teladan bagi anak untuk tidak "bersimpati" pada petasan.

Setidaknya, ini juga mengajak anak untuk "taat hukum" sejak kecil, supaya anak tumbuh menjadi pribadi yang secara normatif baik (= bukan jadi orang yang terbiasa untuk tidak taat hukum).

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----o0o-----

Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Sarjana di bidang Ilmu Sosial. Magister Manajemen di bidang Marketing, Praktisi Psikologi Industri, dan Praktisi Perbankan. Konsultan Komunikasi dengan motto "JELAS - TEGAS - IMBANG".