Ibu-Ibu
dan Bapak-Bapak Yth.,
Tidak
dapat dipungkiri bahwa tulisan-tulisan saya dalam blog ini seringkali
didasarkan pada dua hal ini.
Pertama, sebagai seorang Ilmuwan Psikologi, saya
mempercayai bahwa "hidup itu merupakan suatu kontinum". Artinya, apa
yang dipupuk dalam diri anak sejak kecilnya, akan mempengaruhi dia pada saat
dewasa nanti (yaitu pada saat dia harus bekerja).
Kedua, sebagai seorang
Praktisi Psikologi Industri, saya melihat ada hal-hal penting dalam dunia kerja
yang perlu di-kenal-i para Ibu dan para Bapak, supaya dengan demikian bisa
di-kenal-kan kepada anak-anaknya "sedini mungkin, tetapi tentu saja sesuai
umur / perkembangan anak". Maksudnya adalah agar anak ketika kelak sudah
menjadi dewasa (dan memasuki dunia kerja) sudah memiliki "kebiasaan-kebiasaan"
yang sejak kecil "diakrabinya" dan itu memang berguna / sesuai di
dunia kerja "yang secara normatif / etika" adalah baik.
-------------------
Ibu-Ibu
dan Bapak-Bapak Yth.,
Dalam
tulisan saya di blog ini sebelumnya, saya sudah mengulas tentang Kecerdasan
Emosional dan Kecerdasan Spiritual.
Dalam
kesempatan ini saya sekali lagi harus mengucapkan terima kasih kepada guru
saya, Psikolog Probowatie Tjondronegoro (Psikolog Klinis di Rumah Sakit
Elisabeth Semarang dan Dosen Psikologi di Universitas Semarang), yang
menambahkan catatan bahwa Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual ini
"berayun" alias "bisa naik turun" sepanjang kehidupan
seseorang.
Karena itu, dalam pandangan saya, orang tua perlu menemani dan
"mengajarkan / membekali" anak supaya memupuk dan memiliki Kecerdasan
Emosional dan Kecerdasan Psiritual yang "tinggi" dan sekaligus supaya
anak mampu "mempertahankan" agar Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan
Spiritual-nya tetap "tinggi" (terutama pada saat dia dewasa nanti,
yang tidak lagi ditemani orang tuanya).
NB
: Tentang Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual, mohon berkenan
membacanya di tulisan blog ini edisI Juli 2012.
--------------------
Saya
masih (lagi-lagi) menulis tentang Kecerdasan Emosional kali ini, karena baru-baru
ini saya menghadapi contoh-contoh nyata di berbagai perusahaan, yang menurut
saya ada baiknya saya sharing-kan kepada Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth. Maksud
saya, semoga dengan contoh nyata ini, Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak semakin
bersemangat dalam menemani dan membekali anak-anaknya dengan Kecerdasan
Emosional, sehingga anak Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak nanti ketika dewasa dapat
menjalani kehidupan di dunia kerja dengan "mulus".
Ibu-Ibu
dan Bapak-Bapak Yth.,
Saya
sependapat bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang sukses, seseorang
memerlukan IQ yang baik.
Semakin tinggi IQ, tentu semakin baik
"modal"-nya untuk memimpin. Katakanlah, ketika menghadapi masalah
baru, karena IQ-nya baik, maka dia memiliki daya tangkap dan daya analsisis
yang cepat dan baik, sehingga bisa mencari dan menemukan alternatif solusi dan
bisa memecahkan masalah dengan cepat dan tepat.
Kalaupun IQ seseorang
"sedang-sedang saja", hal ini dapat "ditolong" dengan
pendidikan yang tinggi / baik, termasuk kursus / pelatihan, bahkan juga
pertemanan / berorganisasi atau membaca buku-buku yang memang menambah luas
wawasan dan pengetahuan. Bukankah proses pemecahan masalah itu sebenarnya
proses "membuka database pengetahuan" yang sudah ada di dalam diri
kita ?
Jadi, semakin luas wawasan pengetahuannya, semakin "komplit"
database-nya untuk mencari dan menemukan alternatif solusi terbaik.
Ibu-Ibu
dan Bapak-Bapak Yth.,
Namun
demikian saya juga menemukan fakta ini. Bahwa ada orang yang "pandai"
(identik dengan IQ tinggi dan / atau pendidikan tinggi) ternyata tidak sukses
menjadi "pemimpin yang baik". Kalau saya ditanya, apa definisi
"pemimpin yang sukses", secara ringkas saya jawab "yang punya
pengikut setia dan yang menyejahterakan anak buahnya". Intinya, yang
peduli kepada orang lain, sehingga orang itu dengan "suka rela"
bahkan dengan "bangga" menjadi anak buahnya. (Saya harus mengucapkan
terima kasih kepada sahabat baik saya, Advokat Kushandoko Seto, yang telah
mengenalkan pemikiran ini kepada saya, bertahun-tahun yang lalu).
Kembali
ke orang yang akhir-akhir ini saya temui, yang pandai tetapi tidak banyak orang
yang senang menjadi anak buahnya.
Orang ini lulusan dari sebuah SMA Negeri
terkenal di Semarang dari Program Studi IPA (ini merupakan salah satu ukuran
bahwa orang ini pandai, bukan ?), dan lulusan dari sebuah Perguruan Tinggi
Negeri ternama di Semarang (jurusan IPA lagi, jadi...dia memang pandai, begitu
rata-rata orang bilang). Kemudian, dia masih punya gelar Magister di bidang
Ilmu Sosial dan terakhir juga punya gelar Sarjana di bidang Ilmu Sosial serta
sudah lulus ujian Profesi.
Saya
akui, orang ini pandai.
Masalahnya
adalah orang ini juga terkenal memiliki banyak anak buah dengan masa kerja yang
singkat. Ada yang dua bulan, kemudian mengundurkan diri, Ada yang cuma beberapa
minggu, kemudian mengundurkan diri. Bahkan ada beberapa orang (dalam waktu yang
tidak bersamaan) yang "hari ini masuk kerja, besok atau lusa sudah
mengundurkan diri".
Padahal,
orang ini juga yang memilih sendiri anak buahnya itu. Sampai-sampai dia malu
ketika melapor ke saya (sebagai Konsultan / Praktisi Psikologi Industri) bahwa
anak buahnya lagi-lagi keluar.
Apa
sih masalahnya ?
Sudah
jadi rahasia umum, bahwa orang ini suka sekali "menjatuhkan mental lawan
bicara". Seorang manajer pernah berkata kepada saya, kalau berbicara
dengan orang ini "saya rasanya menjadi bodoh sekali".
Orang
ini kalau memberikan Initial Training (Pelatihan Awal) untuk anak buahnya,
gayanya seperti Ujian Skripsi. Kalau anak buahnya tidak bisa menjawab dengan
baik, "mentalnya dijatuhkan" dengan "kata-kata yang sinis /
tajam".
Bahkan
ketika berinteraksi dengan saya, orang ini "hanya datang ketika dia ada
perlu saja". Tida ada sekedar ramah tamah. Tida ada kata-kata "apa
yang bisa saya bantu" darinya.
Ibu-Ibu
dan Bapak-Bapak Yth.,
Dalam
Psikologi, orang ini dikatakan tidak memiliki Kecerdasan Emosional yang baik. Dia tidak
mampu memonitor perasaan dan emosi, dalam hal ini perasaan dan emosi orang
lain. Memang orang ini tidak emosional / tidak pemarah. Namun Kecerdasan
Emosionalnya tidak "baik". Sebab, Kecerdasan Emosional itu menyangkut
memonitor perasaan dan emosi baik DIRINYA SENDIRI maupun ORANG LAIN. Dia
"tidak pandai" menjaga perasaan orang lain.
--------------------
Ibu-Ibu
dan Bapak-Bapak Yth.
Semoga
kejadian nyata di atas membuat Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak lebih semangat dalam
menemani dan membekali anak-anak untuk "mengenali perasaannya sendiri dan
juga perasaan orang lain" dan dengan "modal" ini dapat berpikir
dan bertindak dengan tepat.
Memang,
kemampuan seperti itu merupakan "gabungan" antara sifat
"genetis" alias keturunan, dengan "pengalaman sehari-hari dan
juga pendidikan" (orang Psikologi menyebutnya "Proses Belajar
Sosial"). Nah, bagaimana bila kita sebagai orang tua juga menyadari /
merasakan bahwa "saya sendiri juga mengalami kesulitan / masalah dengan
Kecerdasan Emosional" (sehingga kalau anak juga mengalami hal yang sama,
ada kemungkinan ini merupakan faktor genetis / keturunan).
Tentu
kita tidak boleh menyakahkan "gen" kita. Yang penting adalah
bagaimana PROSES BELAJAR SOSIAL itu dapat "memperbaiki" Kecerdasan
Emosional anak kita (kalau perlu juga diri kita sendiri sebagai orang tua).
Bukan
bermaksud promosi.
Pada kesempatan ini saya ingin memberikan contoh nyata bahwa
apabila anak (serta Ibu dan Bapak) mengalami kesulitan seperti ini, ada baiknya
mengikuti kursus Pengembangan Kepribadian yang diadakan oleh teman baik saya
yang merupakan pakar di bidang ini. Namanya Ibu Bonita D. Sampurno. Kantornya
ada di Jalan Menteri Supeno I no. 28 A Semarang, telepon (024) 8440047. Beliau ini sudah
memiliki "jam terbang" memberikan kursus / seminar / training sangat
banyak di berbagai perusahaan se-Indonesia.
--------------------
Selamat
menemani anak.
Selamat
memupuk dan membekali anak dengan Kecerdasan Emosional, sehingga anak kita
(kini dan kelak) memiliki "kepribadian" yang "menyenangkan"
bagi orang-orang disekitarnya, dan dengan demikian dapat menjadi pemimpin yang
berhasil dan bermanfaat untuk dirinya sendiri dan juga untuk banyak orang.
"Menemani
Anak = Mencerdaskan Bangsa".
-----o0o-----
Foto #1 oleh Bernardine Agatha Adi Konstantia.
Foto #2 oleh Harri Eko Wardhono.
Foto #3 repro dari internet.
Tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Ilmuwan Psikologi anggota
Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan
Sarjana di bidang Ilmu Sosial. Magister Manajemen di bidang Marketing dan
Praktisi Psikologi Industri serta Praktisi Perbankan.p