Jumat, 23 November 2012

UNSUR SEKS DALAM NOVEL




Saya sudah lama tidak membaca buku novel. Penyebabnya antara lain karena di zaman sekarang ini "semuanya ada gambarnya". Bagi saya pribadi (mungkin bagi banyak orang lain juga), gambar memang lebih menarik daripada tulisan. Ini bagi saya pribadi (sekali lagi, mungkin bagi banyak orang lain juga) berarti bahwa buku novel yang tidak ada gambarnya semakin jarang disentuh. "Malas membacanya, isinya cuma tulisan semua," begitu kira-kira kata saya dalam hati.

Padahal, ketika masih SMP sampai umur 20-an, saya jago membaca buku novel dan buku sastra lainnya yang "tidak ada gambarnya".

--------------------

Hari-hari ini anak saya mendapat tugas dari sekolah untuk membuat sinopsis salah satu novel. Karena dia punya koleksi buku novel remaja masa kini, maka salah satu buku itu yang dia buat sinopsisnya. Dia baca berulang-ulang, meskipun sebelumnya buku itu juga sudah selesai dibacanya.

Dan seperti biasa, saya berusaha untuk menemani anak. Dalam arti : anak saya membaca novel, saya juga ikut menemani baca novel.

Maka, saya pun membeli beberapa buku novel. Beberapa novel John Grisham, pengacara Amerika yang pindah profesi jadi penulis novel dan karena itu novelnya selalu bercerita tentang para pengacara, memang sudah saya baca dan jadi koleksi saya sejak lama. (Begitu lamanya, sampai-sampai saya tidak yakin novel itu sekarang tersimpan di mana). Tetapi beberapa novel John Grisham memang ada yang belum saya beli / baca. Maka, saya membeli dan membaca novel yang sebenarnya sudah cukup lama yang berjudul "Ganti Rugi" (judul aslinya "The King of Torts"). Ini buku buatan John Grisham tahun 2003. Selain itu saya beli / baca juga novelnya  Sandra Brown yang baru, tahun 2012. Judulnya "Dramatis" (judul aslinya "Smash Cut").



Mulanya, saya tidak yakin apakah saya masih bisa menikmati (baca : berkhayal tentang) cerita novel itu. Tetapi saya coba saja.

Pertama membaca, baru sekitar 10 halaman, sudah bosan. Bosan melihat banyak tulisan. 100% tulisan, tidak ada gambarnya sama sekali.

Lalu novel itu saya letakkan.

Besoknya, saya melanjutkan membaca. Lumayan, setelah membaca cukup banyak halaman (cukup tebal), baru saya menyerah lagi.

Novel saya tutup lagi.

Tetapi kali ini, muncul rasa penasaran, "Bagaimana kelanjutannya, ya ?"

Maka, keesokan harinya saya melanjutkan membaca lagi. Kali ini, khayalan di kepala jadi lebih hidup. Rasanya seperti menonton bioskop. Dan novel itupun tamat saya baca.

(Saya membaca novel Sandra Brown lebih dulu. Setelah itu, saya membaca novel John Grisham. Kali ini, rasanya lebih mudah, karena sudah lebih mudah berkhayal sambil membaca kalimat-kalimat di dalamnya).

--------------------

Membaca novel memang bukan salah satu kebutuhan pokok manusia. Seingat saya, dulu ketika di SD saya diajar bahwa kebutuhan pokok itu adalah pangan, sandang, papan. Jadi, novel memang tidak termasuk.

Tetapi saya juga ingat pesan para guru saya (guru Bahasa Indonesia), entah siapa, saya sudah lupa, yang mengatakan bahwa membaca novel itu ada gunanya. Pertama, membuat kita terlatih untuk banyak membaca tuisan. Kedua, membuat kita mahir berimajnasi, justru karena novel tidak ada gambarnya (kita bisa bebas betimajinasi semau kita, sepanjang sesuai dengan kalimat-kalimat novel itu).

Bagi saya, justru poin kedua ini yang menarik. Membaca novel membuat kita mahir berimajinasi. Dan tentu saja ini juga berlaku bagi anak-anak kita. Dengan mahir berimajinasi, anak menjadi kreatif. Dia tidak hanya menjadi konsumen atas apa saja yang sudah digambarkan oleh orang lain / yang disajikan oleh buku bergambar.

Tentu saja, novel yang dibaca harus sesuai dengan usia. Kalau anak usia SD, ada novel Lima Sekawan yang sekatang diterbitkan ulang dengan edisi cover yang baru. Di novel seperti ini, masih ada sedikit ilustrasi untuk membantu khayalan anak.

Untuk usia SD dan SMP, ada banyak sekali novel remaja. Untuk SMA, menurut saya sudah waktunya membaca novel-novel sastra (seperti ketika saya SMA dulu), baik itu karya sastra Indonesia maupun dunia. Apalagi bagi mahasiswa, membaca novel itu tidak terkait dengan kuliah di jurusan apa. Saya mahasiswa Perikanan ketika membaca "Ronggeng Dukuh Paruk", "Pengakuan Pariyem", dan "Ikan-Ikan Hidu, Ido, Homa".

--------------------

"Bagus John Grisham atau Sandra Brown ?" tanya istri saya.

"Sandra Brown plot ceritanya meledak, ada unsur misterinya. John Grisham plot ceritanya tidak meledak, tidak ada yang mengejutkan, tetapi enak diikuti," jawab saya. "Kalau Sandra Brown, kandungan unsur seks-nya agak banyak, kurang cocok untuk anak SMP. Kalau John Grisham, unsur seks-nya sangat sedikit, masih bisa dibaca oleh anak SMP. Kaljmat-kalimat John Grisham juga lucu-lucu, bisa bikin senyum".

Tentu saja, jawaban saya ini hanya untuk dua novel yang baru saja saya baca. Bukan tentang keseluruhan novel tulisan mereka.

"Jadi, novel The King of Torts bisa dibaca Agatha, ya?" yanya istri saya meyakinkan dirinya sendiri.

Agatha adalah anak kami. Dia sangat senang membaca dan juga sangat senang menulis. Artikelnya banyak dimuat di majalah sekolahnya, dan dia bisa mendapat honor ratusan ribu dari itu. Agatha masih duduk di kelas VIII SMP.

"Ya," jawab saya.

--------------------------

Unsur seks memang menjadi bumbu penyedap dalam novel. Ini pernah diulas di Majalah Sastra "Horison" ketika saya masih SMA atau kuliah dulu (akhir 1980-an atau awal 1990-an). Ada novel dewasa / umum yang unsur seksnya sedikit, jadi aman dibaca anak SMP. Ada yang unsur seksnya banyak, sehingga hanya cocok dibaca anak SMA atau mahasiswa. Tentu saja, unsur seks ini tidak terlalu vulgar, tetapi unsur seks tetaplah unsur seks, sehingga hanya cocok dibaca oleh anak usia tertentu.

Saya jadi merenung : kalau orang tua tidak suka membaca novel, bagaimana bisa memberikan arahan kepada anak bahwa novel yang ini sudah cocok dibaca oleh anaknya yang masih SMP, sedangkan novel yang itu baru cocok dibaca kalau besok anaknya sudah SMA ?

--------------------

Selamat menemani anak.

Selamat membaca novel dan berkhayal bersama anak. Tentu saja, yang sesuai dengan usia anak. Karena itu, untuk novel umum / dewasa, orang tua perlu membaca lebih dulu. Supaya anak tidak dilarang membaca semua novel umum / dewasa, tetapi anak juga jangan dibiarkan membaca semua novel umum / dewasa. Semua itu tergantung kadar unsur seks yang ada di dalam novel, yang diketahuo oleh orang tua ketika orang tua sudah membacanya.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".


Catatan Tambahan :


PERKENALAN 
BLOG HUKUM DAN PSIKOLOGI DUNIA KERJA / BISNIS

(www.hukumdanpsikologi.blogspot.com)

Saya harus banyak mengucapkan terima kasih  kepada beberapa pembaca setia yang selalu saja menanyakan kepada saya, "Mengapa blog Holiparent akhir-akhir ini beberapa kali tidak terbit ?"

Dengan malu-malu saya memang harus mengakui bahwa hal itu terkait dengan persiapan saya membuat blog lain, yang rencananya beriringan terbit setiap hari, atau setidaknya terbit dua hari sekali, bersama dengan blog inspirasi pendidikan kreatif Holiparent ini.

Blog yang baru ini, yang tadi saya sebut akan terbit beriringan dengan Holiparent ini, saya buat atas dorongan dari relasi yang saat ini terkait dengan bidang hukum dan psikologi di dunia kerja / dunia orang dewasa. Bagi para pembaca setiap Holiparent yang kebetulan juga aktif di dunia kerja / bisnis, semoga blog baru ini juga dapat bermanfaat dalam menjalankan pekerjaan / bisnis, setidaknya dapat menambah luas wawasan. Adapun bagi pembaca setia Holiparent yang kebetulan tidak aktif di dunia kerja / bisnis, semoga blog baru ini juga memberikan manfaat dalam menambah wawasan ketika mendampingi anak, sebab di era sekarang ini memang ada manfaatnya bahwa sejak SD kelas 4 (setidaknya) anak sudah ditemani oleh orang tua untuk tahu tentang apa yang disebut sebagai hukum positif di negara ini.

Saya menamai blog ini "Hukum dan Psikologi Dunia Kerja / Bisnis" dengan alamat www.hukumdanpsikologi.blogspot.com.  Dan dari beberapa diskusi dengan relasi yang telah terbentuk sejak tahun 1995, yaitu sejak saya masih bekerja di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, maka motto yang dirasa tepat untuk blog ini adalah "Hukum untuk Kemanusiaan yang Adil dan Beradab".

Beberapa artikel saya yang pernah dimuat di media massa, misalnya yang dimuat di harian Suara Merdeka di akhir tahun 2011 dengan judul "Persepsi Mobil Mewah" (yang banyak dikutip oleh beberapa blog / website antikorupsi), akan menjadi salah satu rujukan isi blog hukum dan psikologi dunia kerja / bisnis ini.

Seperti juga halnya blog Holiparent ini, saya berharap bahwa semoga blog hukum dan psikologi dunia kerja / bisnis ini juga dapat menjadi sarana yang baik guna men-sharing-kan pengalaman-pengalaman saya dalam mendampingi relasi-relasi yang ada selama ini, dengan semangat bahwa "pengalaman seseorang semoga menambah luas wawasan orang lain".

Jadi, silakan mampir di www.hukumdanpsikologi.blogspot.com.

"Hukum untuk Kemanusiaan yang Adil dan Beradab".

-----o0o-----

Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Praktisi Psikologi Industri dan Komunikasi.


Constantinus bekerja untuk PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk di Bagian Jasa Luar Negeri / Ekspor-Impor, kemudian bekerja untuk salah satu perusahaan Texmaco Group di Bagian Marketing  Ekspor. Aktif menulis di berbagai media massa dan memberikan pelatihan tentang hukum dan psikologi secara praktis terkait bidang kerjanya sejak tahun 1999. Saat ini bekerja sebagai komisaris independen di beberapa perusahaan setelah dinyatakan lulus fit and proper test oleh Bank Indonesia pada tahun 2007.
Pendidikan bankir diperoleh di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Pendidikan tentang kepemimpinan diperoleh di Latihan Kepemimpinan Pemuda Tingkat Nasional Angkatan XII di Cibubur yang diadakan oleh Kantor Menpora Republik Indonesia. Pernah mendapatkan pendidikan formal di bidang Perikanan dan Kelautan, Hukum, Psikologi, dan Manajemen.