Selasa, 06 November 2012

MENDUKUNG ANAK UNTUK TIDAK MENYONTEK






Dalam perjalanan dari Semarang ke Yogyakarta hari itu, saya satu mobil dengan dua orang teman. Yang seorang adalah Direktur Utama sebuah perusahaan bank. Yang seorang lagi adalah Manajer Marketing pada sebuah bank.

Kebetulan, teman yang bekerja sebagai Direktur Utama ini adalah anak dari seorang Kepala Sekolah di salah satu kota kecil di Jawa Tengah. Kebetulan juga, teman yang bekerja sebagai Manajer Marketing ini istrinya adalah seorang guru SMA di salah satu kota di Jawa Tengah.

Maka, tidak mengherankan pembicaraan sepanjag perjalanan itu juga diwarnai oleh pembicaraan tentang pendidikan di Indonesia.

--------------------

"Sampai SMP, saya bersekolah di desa. Ketika SMA, saya bersekolah di kota besar. Saya kaget ketika tahu bahwa teman-teman SMA di kota besar itu begitu mahir mencontek ketika ulangan," kata teman saya yang bekerja sebagai Direktur Utama.

Lalu, teman yang bekerja sebagai Direktur Utama ini menambahkan, "Saya juga pernah tergoda untuk ikut-ikutan menyontek. Tetapi karena belum biasa, belum sempat menyontek saya sudah dicurigai oleh guru saya. Wah, saya tidak jadi menyontek. Dan kapok untuk berusaha menyontek lagi".

Saya tahu bahwa dia tidak melebih-lebihkan. Orangnya memang pandai. Dan juga jujur, lugu, polos. Hidupnya sederhana, sampai sekarang (untuk ukuran seorang Direktur Utama).

"Anak saya yang pertama memang tidak pandai Matematika. Dulu dia saya sekolahkan di salah satu sekolah terkenal. Karena dia tidak pandai Matematika, maka dia sering dimarahi oleh gurunya. Sekarang dia saya sekolahkan di sekolah lain. Di sekolah ini ada Psikolog-nya. Anak saya jadi tambah semangat belajar, meskipun kalau tentang Matematika masih tetap pas-pas-an saja," kata teman saya yang bekerja sebagai Manajer Marketing.

"Saya bilang kepada anak, nilai yang bagus bukan yang paling utama. Percuma mendapat nilai bagus kalau ternyata dari hasil menyontek ketika ulangan," imbuh teman saya yang bekerja sebagai Manajer Marketing.

--------------------

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Apa yang diungkapkan oleh kedua teman saya ini rasanya kontroversial. Di zaman ketika orang mengagung-agungkan nilai bagus, ternyata ada orang-orang yang punya pendapat seperti itu.

"Bagaimana pendapat Pak Tinus ?" tanya teman saya yang bekerja sebagai Direktur Utama.

"Prinsip itu bagus, dan harus dipertahankan. Meskipun tidak mudah. Bahkan bukan hanya di sekolah. Di dunia kerja pun saya berpesan demikian. Kepada teman-teman yang akan menghadapi Ujian Sertifikasi Profesi, selalu saya katakan bahwa yang penting adalah tidak menyontek. Percuma lulus kalau ternyata dari hasil menyontek. Karena dalam bekerja sehari-hari, yang lulus Ujian Sertifikasi Profesi karena menyontek itu kelihatan bahwa dia tidak bisa bekerja. Ini berdasarkan pengalaman saya," kata saya. 

"Tapi Pak Tinus pernah menyontek ?" tanya teman saya yang bekerja sebagai Manajer Marketing.

"Tidak pernah. Karena Mam-Mam, Ibu saya, selalu bilang bahwa punya nilai jelek tidak apa-apa, yang penting jangan menyontek. Menyontek itu memalukan dan dosa," jawab saya.

"Dan Pak Tinus pernah dapat nilai jelek karena tidak menyontek ?" tanya teman yang bekerja sebagai Manajer Marketing.

"Ha...ha...ha... Sering. Saya sering dapat nilai jelek. Apalagi waktu saya di SMA Kolese Loyola. Seingat saya, rekor nilai terendah saya adalah 1/2, dari total nilai 10. Itu waktu ulangan sejarah. Soalnya ada 20 nomor, saya benar cuma 1 nomor. Ha...ha...ha...," jawab saya. 

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Dalam tulisan ini saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa mendapat nilai jelek itu baik. Tidak. Mendapat nilai jelek itu tidak baik. Tetapi menyontek itu pasti tidak baik, meskipun karena menyontek mendapat nilai baik. Dan dalam hal ini, dukungan dari orang tua kepada anak untuk menjalankan prinsip ini sangatlah penting.

Di sekolah anak saya, beberapa orang tua murid memang terkenal paling heboh kalau membicarakan siapa saja murid yang remidi ulangan (ulangan-nya harus diulang karena belum mencapai nilai minimal yang seharusnya dicapai). Tetapi para orag tua murid ini sudah tidak begitu antusias mengajak istri saya atau saya (kalau kebetulan menjemput anak pulang sekolah) membicarakan tentang siapa saja murid yang harus remidi ulangannya. Sebab, dengan enteng istri saya atau saya akan menjawab bahwa remidi ulangan itu wajar saja. Kalau anak memang belum menguasai materi yang di-ulang-kan, ya memang perlu remidi. Yang penting tidak menyontek. 

Tentu saja, istri saya dan saya lebih senang kalau anak tidak remidi ulangannya. Tetapi kalau memang harus remidi, yang harus dijalani dengan wajar dan tetap jujur (tidak menyontek).

--------------------

Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".


-----o0o-----    


CONSTANTINUS (pengelola HOLIPARENT) adalah lmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Sarjana di bidang Ilmu Sosial. Magister Manajemen di bidang Marketing, Praktisi Psikologi Industri & Komunikasi, dan Praktisi Perbankan.
 
 
  
www.holiparent.blogspot.com diterbitkan oleh "Holiparent Studio 89" (dahulu "Jantera Study 89") yang memberikan bimbingan & konsultasi untuk anak-remaja-dewasa tentang Article Writing & Scientific Photography for  Communication & Creativity Purposes. Bimbingan & konsultasi di Jalan Anjasmoro V no. 24 Semarang setiap Senin-Jumat pk. 18.00-21.00 (Minggu pagi khusus Scientific Photography - Outdoor).