Judul kali ini memang agak aneh terdengar di telinga. Bukankah biasanya anak diajari untuk memenuhi kewajibannya ? Kenapa tulisan kali ini malah membahas tentang hak ?
Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak yang saya hormati,
Seperti biasa, saya men-sharing-kan dalam blog ini apa yang secara nyata memang terjadi. Dan kali ini, sharing-nya memang tentang mempertahankan hak. Komplitnya, anak perlu kita ajari untuk tidak ragu atau takut untuk mempertahankan hak-nya, apabila kewajibannya memang sudah dilakukan / dipernuhi.
Ceritanya begini :
Suatu siang menjelang jam makan siang, saya ditelepon oleh seorang teman yang lebih mengenal saya sebagai "orang hukum" daripada sebagai "orang psikologi". Mungkin, ini karena dia mengenal saya ketiksa saya masih kuliah di Fakultas Hukum dan bekerja sebagai Kepala Departemen Hukum pada sebuah group perusahaan swasta yang meliputi perusahaan-perusahaan di berbagai kota.
Teman saya ini mengadu kepada saya, bahwa dia merasa tidak puas dengan layanan sebuah oknum toko yang menjual AC ("air conditioner").
Intinya, teman saya ini datang ke sebuah toko, memesan AC jenis dan merek tertentu, dan membayar secara tunai dan lunas. Semua ada bukti tertulisnya.
Ketika AC dikirim ke rumah teman saya, ternyata jenis dan mereknya tidak sesuai dengan yang tertulis di bukti pemesanan dan pembayaran. AC yang dikirim harganya lebih murah daripada yang dipesan / dibayar teman saya.
Masalahnya, ketika teman saya menolak AC yang dikirim itu karena tidak sesuai pesanan / pembayaran, oknum penjual itu hanya mau mengembalikan 85% dari uang yang sudah dibayar. Padahal teman saya meminta uang pembayaran dikembalikan 100% karena bukan dia selaku pembeli yang melakukan kesalahan.
Pada saat saya sedang makan siang, teman saya kembali menelepon saya. Katanya, "Mas, ini penjualnya mau bicara langsung".
Saya katakan, "Boleh".
Lalu bicaralah oknum penjual ini. Intinya dia mengatakan tidak mau mengembalikan uang 100%, hanya mau mengembalikan 85% saja. Dia juga mengatakan bahwa anaknya adalah seorang Pengacara. Dia lalu juga bilang bahwa dia punya Pengacara yang lain lagi.
Saya hanya menjawab, "Kalau begitu, silakan konsultasi dengan Pengacara, apakah tidak mau mengembalikan uang 100% itu benar secara hukum".
Setelah saya berkata demikian, oknum penjual ini agak melunak. Dia berjanji akan mengganti AC yang telah dikirim (tetapi tidak sesuai pesanan / pembayaran) itu dengan AC yang sesuai pesanan / pembayaran. Kalau tidak ada AC yang sesuai pesanan / pembayaran, maka uang pembayaran akan dikembalikan 100%.
Ternyata masalah belum selesai. Sore itu juga, teman saya telepon lagi. Intinya, AC yang dikirim tidak sesuai pesanan / pembayaran sudah diambil si oknum penjual (teman saya punya bukti tertulis atas penyerahan barang itu). Tetapi karena AC yang sesuai pesanan / pembayaran tidak ada, maka uang akan dikembalikan 85%.
"Bagaimana, Mas ?" tanya teman saya.
Saya bilang, "Uangnya jangan diterima. Itu sebagai bukti nyata bahwa pembeli tidak setuju uangnya dikembalikan hanya 85%. Yang penting bukti tertulis bahwa AC yang tidak sesuai pesanan / pembayaran sudah dikembalikan jangan sampai hilang. Juga bukti pemesanan dan bukti pembayaran jangan sampai hilang. Besok dilanjutkan saja di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen - Kota Semarang".
Sekitar pk. 18.00 WIB, teman saya memberi kabar. Katanya, "Mas, uangnya sudah dikembalikan 100%".
--------------------
Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,
Kejadian itu kebetulan terjadi di hari Sabtu. Saya kebetulan "ngantor" setengar hari (sampai pk. 13.00 WIB). Setelah itu, saya bersama anak dan istri pergi berenang di kolam renang langganan. Jadi, telepon-telepon yang saya terima dari teman saya setelah jam makan siang juga diketahui oleh anak saya.
Apakah ini ada manfaatnya bagi anak ?
Ya ! Anak akan belajar dari pengalaman (meskipun bukan saya yang menjadi pembeli dalam kasus ini, saya hanya menjadi konsultan saja) bahwa ada kalanya kita berhadapan dengan oknum / orang yang tidak baik, yang akan merugikan kita.
Dalam kasus ini, anak diberitahu bahwa bukan berarti kita ingin membalas kejahatan orang itu, tetapi kita memang harus mempertahankan hak kita sesuai hukum yang berlaku.
Ini juga sebenarnya mendidik anak untuk tidak berlaku curang / jahat, karena orang lain yang di-curang-i / di-jahat-i juga dilindungi oleh hukum untuk mempertahankan hak-nya.
Dengan demikian, anak akan menjadi sadar hukum.
Selamat menemani anak.
"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".
-----o0o-----
Foto oleh Bernardine Agatha Adi Konstantia.
Tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph.
Tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph.
CONSTANTINUS (pengelola HOLIPARENT) adalah lmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor
03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Sarjana di bidang Ilmu Sosial.
Magister Manajemen di bidang Marketing, Praktisi Psikologi Industri & Komunikasi, dan
Praktisi Perbankan.
www.holiparent.blogspot.com diterbitkan oleh "Holiparent Studio 89" (dahulu
"Jantera Study 89") yang memberikan bimbingan & konsultasi untuk anak-remaja-dewasa tentang Article Writing & Scientific
Photography for Communication
& Creativity Purposes. Bimbingan & konsultasi di Jalan Anjasmoro V
no. 24 Semarang setiap Senin-Jumat pk. 18.00-21.00 (Minggu pagi khusus Scientific Photography - Outdoor).